This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Rabu, 23 Mei 2012

gambar Budha, tempat beribadah dan tempat suci


Sistem Penanggalan Budha



  1. Sejarah Sistem Penanggalan Buddha
Sistem penanggalan Buddha (Buddhist calendar system) adalah merupakan salah satu sistem penanggalan kuno di dunia. Tidak ada yang tahu persis kapan tepatnya sistem penanggalan diciptakan dan kapan mulai dipakai. Namun demikian, para ahli sejarah melalui penelitian mereka terhadap data-data sejarah yang ada, mereka menyimpulkan bahwa sistem penanggalan pada dasarnya menginduk terhadap versi asli sistem penanggalan “Surya Siddhanta”, yang mana masih digunakan hingga abad ke-3 masehi.  Surya Siddhanta sendiri, baik versi aslinya maupun versi perkembangannya, merupakan rujukan yang dipakai oleh berbagai sistem penanggalan milik umat Hindu.[1]  Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa sistem penanggalan Buddha dan sistem penanggalan Hindu yang ada saat ini adalah berinduk pada satu sistem penanggalan yang sama, yaitu sistem penanggalan Surya Siddhanta.
Perhitungan tahun dalam sistem penanggalan Buddha adalah dimulai sejak Paranibbana (paranirvana); yaitu tahun wafatnya sang Buddha.[2] Namun, para ahli sejarah masih berselisih tentang tahun berapa sang Buddha dilahirkan dan tahun berapa ia wafat. Hal ini disebabkan terdapat sedikit masalah dalam pengkonversian penanggalan Buddha ke dalam penanggalan Gregorian. Jika perhitungan kalender Buddha didasarkan pada tradisi umat Buddha yang telah ada, maka sang Buddha lahir pada tahun 634 SM, sehingga kalender Buddha dimulai pada tahun 544 SM. Sedangkan menurut para arkeolog, berdasarkan data-data statistik dan arkeologik yang telah ada, mereka berpendapat paling tidak sang Buddha dilahirkan pada tahun 560 SM, sehingga tahun Buddha dimulai dari 480 SM.[3]
Sistem penanggalan Buddha ber-basic Surya Siddhanta system tidaklah dipakai oleh seluruh pengikut Buddha diseluruh dunia. Sistem penanggalan ini pada umumnya dipakai oleh umat Buddha penganut aliran Theravada saja, yang mana mayoritas penganut aliran Theravada berada di negara-negara  Asia Tenggara, termasuk Indonesia.[4]  Hal ini disebabkan karena banyak perbedaan tentang tata cara penanggalan antar satu sekte dengan sekte yang lainnya, serta antara daerah dengan daerah yang lainnya. Sedangkan umat Buddha Mahayana memiliki sistem penanggalan yang berbeda dengan umat Buddha Theravada. Sistem penanggalan umat Buddha Mahayana biasanya menyesuaikan sistem penanggalan yang telah ada pada daerah tersebut, sebagaimana yang terjadi di negara China, yang mana hari raya umat Buddha pada kalender China tidak bersamaan dengan kalender Buddha lainnya.[5]
Perbedaan versi penanggalan antara kalender Buddha Theravada dengan Mahayana tidak serta merta menyebabkan sistem penanggalan keduanya berbeda sama sekali. Bagaimanapun, setidaknya masih ada beberapa poin penting yang harus tetap dijaga dalam perhitungan kalender Buddha, baik Theravada maupun Mahayana. Poin-poin tersebut antara lain:[6]
1.      Perhitungan tanggal harus relevan dengan sejarah kehidupan sang Buddha. Sehingga, apabila kalender dimulai dari tahun wafatnya Buddha (paranibbana/paranirvana), maka tahun kelahiran Buddha berada pada tahun (-) 80 tahun Buddha. dengan berpatokan hal tersebut, kejadian-kejadian yang terjadi dalam masa kehidupan sang Buddha dapat diketahui dengan tepat.
2.      Penanggalan peristiwa-peristiwa penting lainnya dalam sejarah agama Buddha.
3.      Perhitungan tanggal peribadahan (uposatha), dan hari-hari suci, seperti Waisak  ataupun awal dan akhir hari Vassa
B.     Bulan Dalam Kalender Buddha
Pada kalender Buddha secara resmi terdapat 12 bulan, nama-nama keduabelas bulan tersebut berbeda-beda antara daerah satu dengan daerah lainnya. Sebagai contoh nama-nama bulan kalender Buddha secara urut menurut versi Theravada yang berada di Indonesia dan beberapa negara Asia tenggara lainnya kecuali Myanmar adalah sebagai berikut:[7]
1. Caitra                         7. Asvina
2. Vaisakha                    8. Karttika
3. Jyaistha                        9. Margasirsa
4. Asadha                        10. Pausa
5. Sravana                       11. Magha
6. Bhadrapada                 12. Phalguna
Sedangkan versi Theravada di Burma/ Myanmar yaitu:[8]
1. Tagu                            7.Thadingyut
2. Kason                          8. Tazaungmon
3. Nayon                         9. Natdaw
4. Waso                           10. Pyatho
5. Wagaung                      11. Tabodwe
6. Tawthalin                    12. Tabaung
Nama-nama bulan menurut suku Pali:[9]
1. Citta                           7. Assayuja
2. Viskaha                      8. Katthika
3. Jettha                           9. Magasira
4. Asalha                        10. Phussa
5. Savana                        11. Magha
6. Potthapada                  12. Phagguna
Bulan pertama (Caitra) biasanya terjadi sekitar  pertengahan bulan Februari sampai pertengahan bulan April.[10] Dalam penentuan awal bulan, terdapat perbedaan antara aliran satu dengan yang lainnya. Bahkan umat Buddha Indonesia yang beraliran Theravada pun berbeda dengan aliran Theravada yang lainnya. Aliran Theravada pada umumnya (Thailand, Kamboja, Myanmar dan Sri Lanka) menentukan permulaan bulan terjadi pada saat Bulan baru (newmoon)[11], sedangkan permulaan bulan bagi Theravada di Indonesia adalah pada saat Bulan Purnama.[12]
Semua penanggalan Buddha, baik yang awal bulannya terjadi ketika Bulan Baru maupun yang awal bulannya terjadi pada saat Purnama, membagi setiap bulannya menjadi 2 (dua) bagian, biasa disebut dwimingguan (fortnight).[13] Dwiminggu pertama berjumlah 15 hari dan dwiminggu kedua berjumlah 14 ataupun 15 hari. Pada tiap bulannya terdapat hari Uposatha, yaitu hari untuk beribadah. Hari Uposatha dalam satu bulan biasanya terjadi 4 (empat) kali, yaitu ketika Bulan baru, Purnama, serta hari kedelapan pada tiap dwiminggu (ketika Bulan terlihat  ¼ dan ¾ bagian).[14]
Fenomena pembagian setiap bulan menjadi 2 (dua) bagian pada bulan-bulan kalender Buddha adalah mirip dengan pembagian yang terdapat pada kalender umat Hindu (contoh: kalender Saka).[15] Hal ini (sebagaimana telah diterangkan sebelumnya) dikarenakan Induk dari sistem penanggalan yang digunakan oleh keduanya adalah sama, yaitu Surya Siddhanta system.
Usia bulan dalam Kalender Buddha sebenarnya adalah sama halnya usia bulan dalam Lunar calendar, yaitu usia tiap bulannya berkisar 29 ½ hari, dan dalam 2 bulan terdapat 59 hari.[16] Berdasarkan perhitungan tersebut maka usia bulan dalam kalender Buddha adalah 29 hari pada bulan genap dan 30 hari pada bulan ganjil.[17] Namun karena kalender Buddha merupakan kalender Lunisolar, maka terdapat pengecualian aturan interval usia bulan (sebagaimana yang telah dijelaskan diatas) pada tahun panjang yang mana didalamnya terdapat interkalasi hari ataupun bulan.
  1. Sistem Interkalasi  Kalender Buddha
Kalender Buddha sebagaimana yang telah kita ketahui adalah termasuk Lunisolar calendar, oleh sebab itu dalam perhitungannya terdapat apa yang dinamakan dengan Interkalasi bulan (penyisipan bulan) tiap beberapa tahun sekali. Kalender lunisolar pada umumnya mengalami  7 (tujuh) kali penambahan bulan dalam kurun waktu 19 tahun, yang mana dalam sistem penanggalan Buddha lebih dikenal dengan Adhikamasa. Selain itu, berbeda dengan sistem-sistem penanggalan lunisolar lainnya disamping terdapat penambahan bulan pada sistem penanggalan Buddha mengenal pula penambahan hari (adhikavara), biasanya dalam kurun waktu 57 tahun terdapat 11 (sebelas) kali penambahan hari.[18] 
Penambahan hari tersebut bukanlah terjadi begitu saja, namun berdasarkan perhitungan yang cukup rumit. Pertama, hal ini dikarenakan dalam penanggalan Buddha mengenal apa yang dinamakan Mahayuga, yang mana dalam satu Mahayuga terdiri dari 4.320.000 tahun, sedangkan 4.320.000 tahun menurut perhitungan kalender Buddha terdiri dari 1.577.917.800 hari, sehingga jika berdasarkan perhitungan Mahayuga tersebut maka rata-rata hari dalam satu tahun adalah 365,25875 hari.[19]
Kedua, siklus interkalasi bulan pada kalender Buddha adalah 19 tahun dengan 7 tahun kabisat yang mana tiap tahun kabisatnya terdapat bulan ke-13 yang jumlahnya 30 hari, sehingga jika pada tiap tahun Basithoh kalender Buddha terdapat 354 hari maka jumlah hari setiap 1 (satu) siklus interkalasi bulan adalah:
(354 hari X 19 tahun) + (30 hari X 7 tahun) = 6.936 hari
Penambahan hari (interkalasi hari) pada sistem penanggalan Buddha berkaitan erat dengan dua hal yang telah disebutkan diatas (tahun Mahayuga dan Interkalasi bulan).
Siklus Interkalasi hari untuk sistem penanggalan Buddha adalah 57 tahun dengan 11 kali penambahan hari. Sebelas hari tambahan tersebut berasal dari perhitungan sebagai berikut:
57 tahun = 3 kali siklus interkalasi bulan, @ 19 tahun.
Jika tiap 1 (satu) siklus terdapat 6.936 hari, maka dalam 57 tahun terdapat 20.808 hari.
Sedangkan apabila perhitungan berdasarkan rata-rata hari dalam satu tahun menurut sistem Mahayuga, maka jumlah hari dalam 57 tahun adalah :
 365,25875 hari X 57 = 20.819,74875 hari, atau bisa dibulatkan menjadi 20.819 hari.
Sehingga dari perhitungan diatas dapat kita ketahui bahwa selisih antara tahun yang hanya menggunakan interkalasi bulan saja dengan tahun yang berdasarkan sistem Mahayuga adalah 11 (sebelas) hari setiap 57 tahun. Oleh karena itu, setiap 57 tahun diperlukan interkalasi hari sebanyak 11 kali untuk mensinkronkan kembali perhitungan kalender Buddha dengan sistem Mahayuga.
Interkalasi bulan (adhikamasa), sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, terjadi sebanyak 7 (tujuh) kali dalam kurun waktu 19 tahun. Penyisipan bulan tambahan yang berumur 30 hari tersebut dilakukan dengan ketentuan:
1.      Interkalasi bulan dilakukan pada tahun sebelum terjadinya 13 kali konjungsi dalam satu tahun.[20]
2.      Bulan ke-13 (bulan tambahan) diletakkan setelah bulan ke empat yaitu bulan Asadha dengan nama Asadha pula, sehingga dalam tahun panjang terdapat 2 bulan Asadha.[21]
Sedangkan untuk interkalasi hari (adhikavara) ditambahkan pada bulan Jyaistha (29 hari), sehingga dalam kurun 57 tahun terdapat 11 bulan Jyaistha yang genap (30 hari).[22]
Berdasarkan perhitungan interkalasi diatas, maka variasi jumlah hari dalam satu tahun kalender Buddha yaitu 345, 346, 385, dan atau 386, yang mana secara ringkas dapat dilihat pada tabel berikut ini: [23]
Regular Year (Tahun Basithoh)
Leap Year (Tahun Kabisat)
Caitra
29 hari
Caitra
29 hari
Vaisakha
30 hari
Vaisakha
30 hari
Jyaistha
29 hari/30 hari
Jyaistha
30 hari/29 hari
Asadha
30 hari
Asadha Pertama
30 hari


Asadha Kedua
30 hari
Sravana
29 hari
Sravana
29 hari
Bradapada
30 hari
Bradapada
30 hari
Asvina
29 hari
Asvina
29 hari
Karttika
30 hari
Karttika
30 hari
Margasirsa
29 hari
Margasirsa
29 hari
Pausa
30 hari
Pausa
30 hari
Magha
29 hari
Magha
29 hari
Phalguna
30 hari
Phalguna
30 hari
12 bulan
345 hari/346 hari
13 bulan
385 hari/386 hari

Vaisakha, Jyaistha, Asadha pertama dan Asadha kedua, ketika terjadi kasus yang keempat bulan tersebut secara berurutan mempunyai umur bulan yang sama yaitu 30 bulan, maka keempat bulan tersebut dijuluki "four even continuous months" (empat bulan genap yang sambung-menyambung).[24]
  1. Hari Penting Umat Buddha
Hari yang paling penting yang diperingati oleh umat Buddha diseluruh dunia adalah hari Waisak. Umat Buddha Theravada memperingati hari Waisak pada setiap purnama sidhi di bulan Vaisakha. Pada saat itu mereka memperingati tiga peristiwa penting dalam sejarah kehidupan sang Buddha sekaligus. Ketiga peristiwa tersebut yaitu; kelahiran sang Buddha, pangeran Sidhartha mencapai keBuddhaan, dan kematian sang Buddha.[25]
Sedangkan umat Mahayana memperingati ketiga peristiwa tersebut pada tiga waktu yang berbeda:[26]
1.      Kelahiran sang pangeran Sidhartha diperingati setiap tanggal 8 bulan ke-4 kalender China.
2.      Pangeran Sidhartha mencapai keBuddhaan, diperingati pada tanggal 8 bulan ke-12 kalender China.
3.      Parinibbana (wafatnya sang Buddha), diperingati pada tanggal 15 bulan ke-2 kalender China.
Selain hari waisak, umat Buddha juga memperingati perayaan penting lainnya. Hari suci umat Buddha Theravada selalu bertepatan pada saat malam bulan purnama saat hari uposatha, sebagaimana Waisak yang biasanya jatuh pada malam bulan purnama pada bulan Mei. Kemudian Asalha Puja, yaitu malam peringatan pertama kalinya Buddha menyampaikan Khotbahnya, biasanya jatuh pada pertengahan Juli, pada saat itu pula permulaan dari peringatan Vassa. Pada saat bulan purnama ke enam setelah Waisak adalah peringatan hari Pavaana, sekaligus pertanda akhir dari peringatan Vassa. Bulan purnama setelah itu adalah hari Anapanasati. Dua bulan selanjutnya peringatan Magha Puja, yaitu biasanya jatuh pada bulan purnama di bulan Maret.[27]
Kesimpulan
Kalender Buddha adalah termasuk kedalam jenis Lunisolar calendar. Sebagaimana yang ada pada jenis kalender Lunisolar lainnya, di dalam sistem penanggalan yang digunakan oleh kalender Buddha pun mengenal adanya interkalasi (penambahan) bulan, sehingga pada tahun panjang terdapat bulan ke-13. Penambahan bulan pada kalender Buddha adalah terdapat pada bulan Asadha, sehingga pada tahun panjang terdapat 2 bulan Asadha dalam satu tahun. Dalam kurun waktu 19 tahun terdapat 7 kali penyisipan bulan tambahan, yang masing-masing bulan tambahan tersebut berumur 30 hari.
Selain interkalasi bulan, pada sistem penanggalan Buddha juga terdapat interkalasi hari. Dalam kurun waktu 57 tahun terdapat 11 kali penambahan hari pada bulan Jyaistha.
Kalender Buddha perhitungannya dimulai dari tahun wafatnya sang Buddha, yaitu sekitar tahun 544 SM. Dalam penentuan permulaan bulannya antar satu aliran dengan aliran yang lainnya saling bersilang pendapat, sebagian memulai hitungan bulan ketika terbentuk Bulan baru, sebagian yang lain memulai hitungan bulannya ketika purnama. Meskipun demikian, semua aliran Buddha sepakat bahwa setiap bulan dalam kalender Buddha dibagi menjadi dua bagian, sebagaimana yang terdapat pada kalender Hindu.


[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Shofiyulloh, Op.cit, hlm. 36
[10] Ibid
[12] Shoffiyulloh, Log.cit
[13] http://www.Buddhanet.net/cal_week.htm , 09/10/2010 pkl 20.56
[17] Ibid
[19] Ibid
[20] Shofiyulloh, Log.Cit
[21] Ibid, hlm. 34
[24] Ibid
[25] Shofiyulloh, Op.cit, hlm. 35
[26] Ibid
[27] http://everything2.com, Log.cit

Aliran Tantrayana, Mantrayana dan Vajrayana

Pendahuluan

Pada materi ini akan dibahas mengenai kemunculan aliran-aliran Buddha yaitu Tantrayana, Mantrayana dan Vajrayana yang berkembang pada saat itu baik mengenai masalah asal-usul atau sejarah muncul dan berkembangnya aliran ini dan mengetahui bagaimana ritual dan praktek keagamaan aliran Buddha ini.


1. Aliran Tantrayana, Mantrayana dan Vajrayana
a. Aliran Tantrayana

Ajaran Tantrayana yang mulai diperkenalkan secara luas oleh Buddha Padmasambava yang terlahir dari sebuah teratai tidak mempunyai orang tua kandung, langsung terlahir dalam sebuah teratai dengan berwujud seorang bocah yang telah berusia delapan tahun. Dari kelahirannya yang sangat mukjizat dan rahasia (disebuah pulau yang tidak berpenghuni manusia) ini saja sudah tercermin dari ajarannya.

Tantra itu menggabungkan keperluan kebaktian dari umat dengan latihan meditasi dari sekte Yogacara, dan dengan metafisika-Madhyamika. Walaupun keseluruhannya, dan sudah tentu akan adanya suatu kekeliruan besar untuk menginterpretasikan Buddhism-Tantra sebagai suatu gerakan dari penyatuan.

Tantra itu mewakili di antara sekte-sekte Mahayana, panca indera mengenai semangat, secar tradisi ditegaskan sebagai terdiri dari perawatan dan hasil dari yang bermanfaat, dan menghapuskan serta gangguan dari yang tidak bermanfaat, keadaan mengenai pikiran. Dengan keadaan bermanfaat dari Jhana, atau Dhyana, pikiran yang terutama dimaksudkan. Maka dari itu kepentingan yang didominasi Tantra bukanlah teori tetapi praktek. Yogacarin menekankan Meditasi, walaupun asalnya suatu protes terhadap satu sisi, akhirnya bertemu nasib yang sama, dimengerti untuk mengartikan bukan perolehan yang sebenarnya dari dhyana tapi suatu teori, bukan mengatakan spekulasi, interpretasi mengenai existensi di dalam cahaya dari pengalaman ini.

Tantra, walaupun secara jelas menggabungkan doktrin dari sekte-sekte yang lebih dahulu, berbeda secara radikal dari mereka semuanya di dalam mengenai bukan dengan perluasan teori yang lebih lanjut dari doktrin-doktrin ini, tapi dengan penerapan metode menuju pada realisasi realitas dari mana mereka adanya namun simbol konseptual. Jadi Tantra memiliki sebegitu banyak pada bidang menguasai doktrin sebagaimana pada bidang menguasai metode. Tradisi-tradisi Buddhist yang ada diterima sebgaaimana adanya, asalkan bukan sebagai suatu titik awal untuk tindakan,. Lebih daripada setiap sekte lainnya, Tantra mewakili segi latihan mengenai Buddhism, dan karena alasan ini, jadi Dr. Herbest V. Guenter sangat menekankan,

‘Itulah di dalam Tantra bahwa Buddhism menemukan kemekaran dan peremajaan lagi yang konstan’.

Tetapi walaupun Tantra berarti tindakan, dan karenanya untuk kekuatan di dalam semua modenya, itu tidak berarti tindakan secara umum, yang akan lebih baik dimiliki hanya aktivitas, tapu terutama untuk ritual atau perbuatan sakral. Di dalam prinsip ringan yang fundamental ini, dasar ‘kebenaran bagi existensi’ lebih dari penekanan Tantra dengan ciri-cirinya secara jelas diperlihatkan. Tindakan atau perbuatan itu ada 3 macam, yakni: tubuh, vokal, dan mental. Pikiran atau perbuatan mental, darimana pikiran yang dikonsentrasikan ialah keserbaragaman yang paling manjur, menentukan ucapan dan tindakan yang mempengaruhi pikiran. Perbuatan sakral dari Tantra bertujuan menghasilkan suatu transformasi mengenai kesadaran dengan usaha dari (secara spiritual) suara dan gerakan yang sangat mempunyai arti secara spiritual.

Tantra adalah lebih sulit untuk memberikan suatu penjelasan daripada sekte lainnya dalam Buddhisme. Alasannya ialah kedua-duanya mengenai ajaran bagi internal dan eksternal. Untuk memulai dengan tTantra ialah bukan dengan penyamarataan teori tapi dengan latihan yang teratur dan mendalam, karena mengenai suatu tingkat yang lebih tinggi bukanlah exoterik melainkan esoterik, yang selama berabad-abad dijaga secara bersama-sama dengan cara tradisi lisan dan dengan hati-hati melindungi dari keinginan-keinginan yang kotor.
Materi untuk menulis sejarah gerakan esoterik kenyataannya akan sangat sedikit, jikalau bukan semuanya tidak ada. Bahkan ketika catatan sastra dari sekte-sekte permulaan, pada umumnya semua yang dapat diperoleh adalah sedikit pengalaman yang terisolir. Lagipula, karena bahasa Tantra acapkali secara simnbolis bahkan dari judulnya, naskah Tantra selama ini tidaklah dipublikasikan, jadi siapa saja yang kebetulan membacanya dengan ketiadaan tradisi lisan membantu terbebas dari kesulitan.

  1. Aliran Mantrayana
Istilah Mantrayana kelihatannya telah menerima aslinya pada keperluan khusus bahwa cabang Mahayana yang menganjurkan pembacaan ulang mengenai mantra sebagai usaha prinsip mengenai paramita. Menurut Shashi Bhusan Dasgupta: ‘Mantrayana adalah sekte dari Mahayana’, kelihatannya adalah tingkat perkenalan mengenai Buddhisme Tantra dari semua cabang mengenai Vajrayana, Kalacakrayana, Sahajayana, dan seterusnya yang timbul dikemudian hari.
Meskipun demikian, sebagai keadaan hal yang sebenarnya dengan cabang-cabang Tantra Chinese dan Jepang, istilah Mantrayana berlanjut di dalam penggunaan sebagai suatu petunjuk kolektif tidak hanya untuk memperkenalkan tapi juga untuk tingkat lebih lanjut dari gerakan Tantra, dan seperti itu dari satu waktu dipakai sampai dengan sekarang.
Mahayana terdiri dari dua kendaraan, Paramitayana dan Mantrayana. Paramitayana adalah "Penyebab kendaraan" di mana tidak ada meditasi pada diri sendiri sehubungan dengan empat kemurnian lengkap tempat tinggal, properti tubuh, dan kegiatan, wakil dari istana Buddha, kekayaan tubuh, dan perbuatan. Mantrayana adalah "Pengaruh kendaraan," di mana ada meditasi pada diri sendiri sebagai representasi fisik dari empat kemurnian lengkap. Dalam Mantrayana, karenanya, seseorang bermeditasi pada diri sendiri sebagai sebuah rumah besar ilahi, rombongan ilahi, alat ritual ilahi, dan perbuatan ilahi memurnikan kosmos dan penduduknya dengan cara yang sama sebagai seorang Buddha.
Ada empat jenis Mantrayana: rendah, menengah, unggul, dan yang paling baik. Keempat kelas Tantra dirancang untuk memenuhi kebutuhan empat jenis murid. Empat kelas mirip dengan "empat pintu": Tantra Ritual, Perilaku Tantra, Yoga Tantra, Yoga dan Tantra tanpa tandingan. Kalachakra adalah milik kelas Tantra Yoga tanpa tandingan.
  1. Aliran Vajrayana

Vajrayana atau kadang ditulis Vajrayana, adalah suatu ajaran Buddha yang di Indonesia lebih sering dikenal dengan nama Tantra atau Tantrayana. Namun banyak juga istilah lain yang digunakan, seperti misalnya: mantrayana, ajaran mantra rahasia, ajaran Buddha eksoterik. Vajrayana adalah merupakan ajaran yang berkembang dari ajaran Buddha Mahayana, dan berbeda dalam hal praktek, bukan dalam hal filosofi. Dalam ajaran Vajrayana, latihan meditasi sering dibarengi dengan visualisasi. Istilah "Vajrayana" berasal dari kata vajra yang dalam bahasa sanskerta bermakna 'halilintar' atau 'intan'. Vajra melambangkan intan sebagai unsur terkeras di bumi, maka istilah Vajrayana dapat bermakna "Kendaraan yang tak dapat rusak".


Berasal dari kosa kata Sansekerta "Vajra" yang berarti berlian dalam aspek kekuatannya,atau halilintar dalam aspek kedahsyatan dan kecepatannya.
Serta dari kata "yana" yang berarti wahana/kereta. Vajrayana merupakan Jalan Intan. Kata "Tantra" sendiri berarti "Tenun" dalam bhasa Sansekerta,merujuk kepada prakteknya yang bertahap namun pasti.

Adapun tujuan akhir daripada Vajrayana ialah : Mencapai kesempurnaan dalam pencerahan dengan tubuh fisik kita saat ini, di kehidupan ini juga, tanpa harus menunggu hingga kalpa2 yang tak terhitung.

Filosofi ajaran agama Buddha dapat di bagi dua: Hinayana/Pratimokshayana (salah satunya Theravada) dan Mahayana. Hinayana menekankan pada pencapaian sebagai Arahat, sedangkan Mahayana pada pencapaian sebagai Bodhisattva. Tantrayana yang merupakan bagian dari Mahayana juga sering dikenal dengan nama jalan Boddhisattva. Hinayana dapat dibagi menjadi Vaibhashika dan Sautrantika. Sedangkan Mahayana dibagi menjadi Cittamatra dan Madhyamika. Madhyamaka ini terdiri dari Rangtong (yang mencakup Sautrantika dan Prasangika) dan Shentong (Yogacara). Keempat filosofi ajaran Buddha ini (Vaibhasika, Sautrantika, Cittamatra dan Madhyamika) telah ada sejak zaman Buddha Gautama, muncul karena adanya perbedaan kepercayaan, perbedaan level pemahaman, perbedaan pencapaian dan realisasi dari para murid Buddha.
Ajaran Vaibhasika dan Sautrantika banyak terdapat di Thailand, Burma, Sri Lanka, Kamboja. Ajaran Cittamatra ini banyak ditemui di China, Taiwan, Jepang, Hongkong, Singapur, Malaysia, Indonesia serta Tibet dan sekitarnya. Ajaran Uma Shentongpa merupakan bagian dari ajaran Madyamika, yang percaya bahwa self-nature (sifat alami kita) sebenarnya tidaklah sekedar kosong, karena self-nature (sifat alami kita) adalah Buddha-nature (inti benih ke-Buddhaan), yang memiliki semua kualitas Buddha.
Menurut catatan, banyak sekali praktisi tinggi Vajrayana yang memiliki kemampuan (siddhi) yang luar biasa, misalnya: menghidupkan kembali ikan yang telah dimakan (Tilopa), terbang di angkasa (Milarepa), membalikkan arus sungai gangga (Biwarpa), menahan matahari selama beberapa hari (Virupa), mencapai tubuh pelangi (tubuh hilang tanpa bekas, hanya meninggalkan kuku dan rambut sebagai bukti), berlari melebihi kecepatan kuda, merubah batu jadi emas atau air jadi anggur, memindahkan kesadaran seseorang ke alam suci Sukavati (yang dikenal dengan istilah phowa), dapat meramalkan secara tepat waktu serta tempat kematian & kalahirannya kembali (H.H. Karmapa), lidah dan jantung yang tidak terbakar ketika di kremasi, terdapat banyaknya relik dari sisa kremasi, dll. Di dalam Vajrayana, semua hasil yang kita peroleh dari latihan kita, haruslah kita simpan serapi mungkin, bukan untuk di ceritakan pada orang lain. Sebagai pengecualian, kita boleh mendiskusikan hal tersebut dengan Guru kita, jika memang ada hal yang kurang kita mengerti.

Dewasa ini di tibet,Vajrayana terbagi menjadi 4 tradisi,kenapa muncul 4 tradisi ini ? itu disebabkan karena penurunan ajaran melalui garis silsilah yang berbeda,itu saja,buka karena suatu hal yang lain.
ke empat tradisi ini mempunya ciri khasnya masing2 :
-          Gelug (para praktisinya disebut sebagai Gelugpa) : lebih menekankan kepada disiplin intelektual, karenanya para Bhiksu dari Gelug amatlah pandai dalam pembahasan Metafisika,filsafat,dll. Pusaka ajaran yang terkenal dari tradisi ini adalah Krama Marga alias Lam Rim (Jalan dan Tahap). Tradisi ini didirikan oleh Je Tsongkhapa,dengan Kadampa sebagai pendahulu Gelug,yang mana Kadampa ini didirikan oleh seorang Maha Guru India, yaitu Atisha Dipamkara. Pemegang utama silsilah Gelug pada saat ini adalah H.H.Dalai Lama XIV Tenzin Gyatso.

-          Sakya (para praktisinya disebut sebagai Skayapa) : terkenal dengan naskah-naskah autentiknya, pusaka ajaran dari tradisi ini adalah Lam Dray (Jalan dan Hasil).Tradisi ini berawal dari Sakya Shri Bhadra dari India, yang merupakan pemegang tahta terakhir dari Institut Buddhist Nalanda yang mengungsi ke Tibet pada saat invasi dari Moch.Bhaktiar Khalji,juga oleh beberapa Lotsava agung yg disebutkan oleh Vince Delusion sebelumnya. Pemegang utama silsilah Sakya pada masa kini adalah H.H.Sakya Trizin.

-          Kagyu (para praktisinya disebut sebagai Kagyupa) : terkenal sebagai tradisi Meditatif,lebih menekankan kepada metode-metode Yoga-nya. Pusaka ajaran dari tradisi ini adalah Maha Mudra,yang meliputi Enam Yoga Naropa (tib.Naro Cho Drug ; skt.Saddharmopadesa),serta metode-metode esoterik lain yang menyertainya dari awal sampai akhir, juga pendidikan Shedras selama 12 tahun yang diikuti dengan retreat Maha Mudra di dalam ruang tertutup selama 3 tahun 3 bulan 3 hari merupakan ke-khas-an tersendiri dalam tradisi Kagyu.
Tradisi ini utamanya berawal dari Buddha Vajradhara sendiri yang menurunkannya kepada Mahasiddha Tilopa secara langsung melalui cara yang menakjubkan,kemudian kepada Mahasiddha Naropa,seorang Professor dari Nalanda,lalu kepada Marpa Lotsava,penerjemah agung dari Tibet yang kemudian membawa garis silsilah ajaran ini ke Tanah Salju Tibet,lalu terus kepada Milarepa,Gampopa,dan terus sampai sekarang melalui para Maha Karmapa. Pemegang utama tradisi ini pada masa  kini adalah H.H.Maha Karmapa XVII Ogyen Trinley Dorje.

-          Nyingma (para praktisinya disebut sebagai Nyingmapa) : Dikenal sebagai tradisi Non Monastic. Terkenal dengan pusaka Terma nya,serta ajaran2 esoterik langka di masa lampau.Ciri khas utama ajaran dari tradisi ini adalah Dzogchen (Maha Sandhi).Tradisi ini berawal dari Vajra Guru Padmasambhava (Lian Hua Sheng Da Shi) yang datang dari India ke Tibet atas undangan raja Tibet masa itu,Trisong Deutsen.
Pemegang silsilah ini pada masa kini adalah H.H.Penor Rinpoche.


Pentingnya Guru yang berkualitas
Dalam ajaran Vajrayana, hubungan antara seorang Guru dan seorang murid adalah amat penting. Seorang murid tidak akan pernah memperoleh pencapaian tanpa bantuan seorang Guru yang berkualitas, karena Guru yang berkwalitas merupakan perwujudan dari Buddha, Dharma dan Sangha. Di dalam Vajrayana, seorang guru bisa saja merupakan seorang Yogi (pertapa), seorang His Holliness, seorang Rinpoche, ataupun seorang Lama. Seorang Guru berkualitas adalah guru yang telah diakui oleh pimpinan keempat aliran: Nyingmapa, Sakyapa, Kagyudpa, Gelugpa. Didalam Vajrayana seorang praktisi tidak dilarang untuk menikah, serta juga tidak diharuskan untuk hidup bervegetarian (Catatan: Pada saat bercocok tanam, banyak juga mahluk yang terbunuh. Hidup sebagai seorang vegetarian tidaklah menjadikan kita suci, tergantung motivasi kita. Prilaku kita dalam berlatih sehari-harilah yang amat menentukan, termasuk di dalamnya : perbuatan / Tubuh, Ucapan serta Pikiran kita). Banyak dari Guru Vajrayana yang tidak menikah, namun tidak sedikit juga yang menikah. Pasangan dari seorang Guru Vajrayana bukanlah seorang wanita biasa, mereka biasanya merupakan seorang dakini (mahluk suci yang telah memperoleh pencapaian) yang ditugaskan untuk membantu sang Guru dalam memperoleh pencapaian demi kebahagiaan semua mahluk.
Dalam ajaran Theravada dan Mahayana dikenal dengan istilah 3 akar, yaitu mengambil perlindungan pada Buddha, Dharma dan Sangha. Di dalam ajaran Vajrayana, selain penyerahan total Tubuh, Ucapan, Pikiran dan berlindung pada Buddha, Dharma dan Sangha, terdapat juga  3 akar tambahan, yaitu: penyerahan total Tubuh, Ucapan, Pikiran dan berlindung pada Guru, Yidam dan Protektor. Ketika kita berbicara tentang penyerahan total dan perlindungan, maka terlihat jelas betapa pentingnya kita mencari seorang Guru yang benar-benar berkwalitas, yang hanya dengan bantuan dan berkah yang diberikanNya kita bisa mencapai pencerahan.
Di dalam latihan, amat diperlukan seorang guru yang berkualitas, sehingga kita perlu berhati-hati dalam memilih seorang guru (words of my perfect teacher - Patrul Rinpoche). Seorang guru yang berkualitaslah yang dapat membimbing dan membantu kita dalam mencapai pencerahan. Kualitas seorang guru dapat kita lihat dari riwayat silsilah beliau (kebanyakan merupakan seorang Tulku) serta adanya pengakuan dari pimpinan ke empat aliran (Nyingmapa, Sakyapa, Kagyudpa, Gelugpa). Hal ini yang menjadi salah satu unsur pokok dalam Wajrayana. Pada saat lahirnya seorang Tulku (guru berkwalitas), biasanya di tandai dengan adanya tanda alam yang ikut bergembira, misalnya: adanya pelangi, udara dipenuhi dengan wangi dupa dan bunga, terdengar alunan musik di angkasa, dll. Pada saat di kremasi, sering lidah dan jantung seorang Tulku tidak terbakar, adanya tulisan mantra di batok kepala, juga sering di temukan relik-relik yang indah. Tidak jarang juga seorang Tulku mencapai tubuh pelangi saat mereka meninggal (tubuh hilang tanpa bekas, hanya meninggalkan kuku dan rambut sebagai bukti).
Dalam melaksanakan latihan, sering dianjurkan untuk berlatih tiap hari secara disiplin. Banyak guru mengatakan bahwa lebih baik berlatih 10 menit tiap hari, daripada berlatih 300 menit secara berturut-turut tanpa henti, lalu istirahat selama sebulan.

  1. Ritual dan Praktek Tantrayana, Mantrayana dan Vajrayana
Padmasambhava ke sebuah kuburan kuno untuk diberi pewarisan Sadhana Tantra. Ada empat Tempat Suci Tantrayana :

1.Kamakhya
2.Srihatta
3.Purnagiri
4.Uddiyanna

Tidak hanya mewariskan Sadhana Tantra, Padmasambhava juga mengulas sutra :
1. Suvarnaprabhasasutra mengandung ajaran kesunyataan, namun sutra ini memuji mantra tantra, Sarasvatidevi dan Sridevi semua ada disini, merupakan sutra Mahayana dan sekaligus juga Tantrayana.
2. Mahavairocanasutra, terdiri dari sutra, tata cara pujana, bagian tantra, serta Garbhadhatusutra.
3. Vajravadasutra , terdiri dari Vajradhatu, Trailokyavijaya, abhicaruka dan realisasi. (Oleh karena itulah saya Buddha Hidup Liansheng mempunyai Mahamudra dua bagian, yaitu Garbhadhatu dan Vajradhatu.
4. Manjusrimulatantra, sutra ini menitikberatkan pada tata ritual, yukta dengan dewa, Tara juga ada di dalamnya. Berisi Mahamantra, tata ritual, kesenian, abhiseka, tempat ibadah dan lain sebagainya.
5. Guhyasamaja, isinya adalah Bodhicitta Pencerahan, teori kesunyataan, realisasi siddhi, abhicaruka, dan realisasi mantratantra.
6.Ekavirasutra.
7. Mahakarunasunyajnanasutra , Sadhana Hevajra dan Nairatmyadevi.
8. Vajraphalatantra, Taramulatantra, Maitrikarunasila, Mahakala, Kalacakra, Sastra Lima Tahapan.
9. Sadhanamala.
            Padmasambhava mewariskan berbagai macam sutratantra kepada saya di dalam kuburan kuno, saya menjadi penerus silsilah sekte kuburan kuno (Gumupai), mirip seperti dalam novel yang ditulis oleh Jinyong, ilmu silat sekte Kuburan Kuno sangat tinggi, namun yang saya tekuni bukan ilmu silat seperti 18 Tapak Penakluk Naga, melainkan sadhana tantra, cara terbebas dari kelahiran dan kematian, Mahasadhana pencapaian Kebuddhaan dalam hidup saat ini juga.
Sedangkan Tantra saya berasal dari Samadhi, dibawa oleh Padmasambhava ke Kuburan Kuno, memperoleh Mahamudra Vajradhatu dan Garbhadhatu, silsilah ini termasuk silsilah dari angkasa, sisilah sejati dari sepuluh penjuru Tathagata di tiga Dalam tradisi tertentu, sering ajaran diturunkan secara rahasia dari seorang guru kepada seorang murid (seperti misalnya ajaran Bisikan Dakini yang di terima oleh Tilopa langsung dari Dakini, yang diajarkan kepada Naropa, kemudian diturunkan secara rahasia oleh Milarepa hanya kepada seorang murid saja (Gampopa), sang murid juga menurunkan hanya kepada seorang muridnya, begitu seterusnya, ajaran ini tidak diberikan kepada umum). Dengan adanya hal-hal seperti ini, sering juga ajaran Vajrayana di kenal dengan ajaran rahasia. Karena praktek Vajrayana tidak terlepas dari penjapaan mantra, maka sering juga dikenal dengan istilah ajaran mantra rahasia.
Ajaran Vajrayana sering juga disebut dengan Praktek Rahasia, atau Kendaraan Rahasia. Hal ini menggambarkan bahwa ketika seorang praktisi semakin merahasiakan latihannya, maka ia akan semakin mendapatkan kemajuan pencapaian dan berkah dari latihan yang ia lakukan. Semakin ia menceritakan tentang latihannya, maka semakin sedikit berkah yang akan ia peroleh.
Selain itu dalam Vajrayana terdapat juga latihan Protektor, latihan Channel dan Cakra. Jika latihan ini di publikasi, maka akan mengakibatkan adanya salah tafsir dari arti latihan yang sebenarnya, yang banyak terjadi pada mereka yang kurang percaya ataupun yang tidak mengerti. Sebagai contoh : Jika orang mendengar tentang Buddha, maka dalam bayangan mereka Buddha di gambarkan sebagai suatu yang tenang, damai dan indah. Namun beberapa gambar Protektor terlihat murka/garang, walaupun sebenarnya Protektor adalah merupakan manifestasi dari Buddha. Jika orang awan melihat hal ini, maka mereka akan mulai mengkritik dan menyalah artikan ajaran Vajrayana, dan hal ini akan berakibat terjadinya karma buruk, yang tentu amat merugikan diri mereka sendiri. Oleh karena itu, dalam latihan tingkat tinggi Vajrayana, latihan selalu harus dilakukan secara rahasia.
Daftar Pustaka:
Suwarto, Buddha Dharma Mahayana
Ilmu Agama, Honig, J.R, BPK Gunung Mulia, Jakarta: 1997

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More