Rabu, 23 Mei 2012

Sistem Penanggalan Budha



  1. Sejarah Sistem Penanggalan Buddha
Sistem penanggalan Buddha (Buddhist calendar system) adalah merupakan salah satu sistem penanggalan kuno di dunia. Tidak ada yang tahu persis kapan tepatnya sistem penanggalan diciptakan dan kapan mulai dipakai. Namun demikian, para ahli sejarah melalui penelitian mereka terhadap data-data sejarah yang ada, mereka menyimpulkan bahwa sistem penanggalan pada dasarnya menginduk terhadap versi asli sistem penanggalan “Surya Siddhanta”, yang mana masih digunakan hingga abad ke-3 masehi.  Surya Siddhanta sendiri, baik versi aslinya maupun versi perkembangannya, merupakan rujukan yang dipakai oleh berbagai sistem penanggalan milik umat Hindu.[1]  Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa sistem penanggalan Buddha dan sistem penanggalan Hindu yang ada saat ini adalah berinduk pada satu sistem penanggalan yang sama, yaitu sistem penanggalan Surya Siddhanta.
Perhitungan tahun dalam sistem penanggalan Buddha adalah dimulai sejak Paranibbana (paranirvana); yaitu tahun wafatnya sang Buddha.[2] Namun, para ahli sejarah masih berselisih tentang tahun berapa sang Buddha dilahirkan dan tahun berapa ia wafat. Hal ini disebabkan terdapat sedikit masalah dalam pengkonversian penanggalan Buddha ke dalam penanggalan Gregorian. Jika perhitungan kalender Buddha didasarkan pada tradisi umat Buddha yang telah ada, maka sang Buddha lahir pada tahun 634 SM, sehingga kalender Buddha dimulai pada tahun 544 SM. Sedangkan menurut para arkeolog, berdasarkan data-data statistik dan arkeologik yang telah ada, mereka berpendapat paling tidak sang Buddha dilahirkan pada tahun 560 SM, sehingga tahun Buddha dimulai dari 480 SM.[3]
Sistem penanggalan Buddha ber-basic Surya Siddhanta system tidaklah dipakai oleh seluruh pengikut Buddha diseluruh dunia. Sistem penanggalan ini pada umumnya dipakai oleh umat Buddha penganut aliran Theravada saja, yang mana mayoritas penganut aliran Theravada berada di negara-negara  Asia Tenggara, termasuk Indonesia.[4]  Hal ini disebabkan karena banyak perbedaan tentang tata cara penanggalan antar satu sekte dengan sekte yang lainnya, serta antara daerah dengan daerah yang lainnya. Sedangkan umat Buddha Mahayana memiliki sistem penanggalan yang berbeda dengan umat Buddha Theravada. Sistem penanggalan umat Buddha Mahayana biasanya menyesuaikan sistem penanggalan yang telah ada pada daerah tersebut, sebagaimana yang terjadi di negara China, yang mana hari raya umat Buddha pada kalender China tidak bersamaan dengan kalender Buddha lainnya.[5]
Perbedaan versi penanggalan antara kalender Buddha Theravada dengan Mahayana tidak serta merta menyebabkan sistem penanggalan keduanya berbeda sama sekali. Bagaimanapun, setidaknya masih ada beberapa poin penting yang harus tetap dijaga dalam perhitungan kalender Buddha, baik Theravada maupun Mahayana. Poin-poin tersebut antara lain:[6]
1.      Perhitungan tanggal harus relevan dengan sejarah kehidupan sang Buddha. Sehingga, apabila kalender dimulai dari tahun wafatnya Buddha (paranibbana/paranirvana), maka tahun kelahiran Buddha berada pada tahun (-) 80 tahun Buddha. dengan berpatokan hal tersebut, kejadian-kejadian yang terjadi dalam masa kehidupan sang Buddha dapat diketahui dengan tepat.
2.      Penanggalan peristiwa-peristiwa penting lainnya dalam sejarah agama Buddha.
3.      Perhitungan tanggal peribadahan (uposatha), dan hari-hari suci, seperti Waisak  ataupun awal dan akhir hari Vassa
B.     Bulan Dalam Kalender Buddha
Pada kalender Buddha secara resmi terdapat 12 bulan, nama-nama keduabelas bulan tersebut berbeda-beda antara daerah satu dengan daerah lainnya. Sebagai contoh nama-nama bulan kalender Buddha secara urut menurut versi Theravada yang berada di Indonesia dan beberapa negara Asia tenggara lainnya kecuali Myanmar adalah sebagai berikut:[7]
1. Caitra                         7. Asvina
2. Vaisakha                    8. Karttika
3. Jyaistha                        9. Margasirsa
4. Asadha                        10. Pausa
5. Sravana                       11. Magha
6. Bhadrapada                 12. Phalguna
Sedangkan versi Theravada di Burma/ Myanmar yaitu:[8]
1. Tagu                            7.Thadingyut
2. Kason                          8. Tazaungmon
3. Nayon                         9. Natdaw
4. Waso                           10. Pyatho
5. Wagaung                      11. Tabodwe
6. Tawthalin                    12. Tabaung
Nama-nama bulan menurut suku Pali:[9]
1. Citta                           7. Assayuja
2. Viskaha                      8. Katthika
3. Jettha                           9. Magasira
4. Asalha                        10. Phussa
5. Savana                        11. Magha
6. Potthapada                  12. Phagguna
Bulan pertama (Caitra) biasanya terjadi sekitar  pertengahan bulan Februari sampai pertengahan bulan April.[10] Dalam penentuan awal bulan, terdapat perbedaan antara aliran satu dengan yang lainnya. Bahkan umat Buddha Indonesia yang beraliran Theravada pun berbeda dengan aliran Theravada yang lainnya. Aliran Theravada pada umumnya (Thailand, Kamboja, Myanmar dan Sri Lanka) menentukan permulaan bulan terjadi pada saat Bulan baru (newmoon)[11], sedangkan permulaan bulan bagi Theravada di Indonesia adalah pada saat Bulan Purnama.[12]
Semua penanggalan Buddha, baik yang awal bulannya terjadi ketika Bulan Baru maupun yang awal bulannya terjadi pada saat Purnama, membagi setiap bulannya menjadi 2 (dua) bagian, biasa disebut dwimingguan (fortnight).[13] Dwiminggu pertama berjumlah 15 hari dan dwiminggu kedua berjumlah 14 ataupun 15 hari. Pada tiap bulannya terdapat hari Uposatha, yaitu hari untuk beribadah. Hari Uposatha dalam satu bulan biasanya terjadi 4 (empat) kali, yaitu ketika Bulan baru, Purnama, serta hari kedelapan pada tiap dwiminggu (ketika Bulan terlihat  ¼ dan ¾ bagian).[14]
Fenomena pembagian setiap bulan menjadi 2 (dua) bagian pada bulan-bulan kalender Buddha adalah mirip dengan pembagian yang terdapat pada kalender umat Hindu (contoh: kalender Saka).[15] Hal ini (sebagaimana telah diterangkan sebelumnya) dikarenakan Induk dari sistem penanggalan yang digunakan oleh keduanya adalah sama, yaitu Surya Siddhanta system.
Usia bulan dalam Kalender Buddha sebenarnya adalah sama halnya usia bulan dalam Lunar calendar, yaitu usia tiap bulannya berkisar 29 ½ hari, dan dalam 2 bulan terdapat 59 hari.[16] Berdasarkan perhitungan tersebut maka usia bulan dalam kalender Buddha adalah 29 hari pada bulan genap dan 30 hari pada bulan ganjil.[17] Namun karena kalender Buddha merupakan kalender Lunisolar, maka terdapat pengecualian aturan interval usia bulan (sebagaimana yang telah dijelaskan diatas) pada tahun panjang yang mana didalamnya terdapat interkalasi hari ataupun bulan.
  1. Sistem Interkalasi  Kalender Buddha
Kalender Buddha sebagaimana yang telah kita ketahui adalah termasuk Lunisolar calendar, oleh sebab itu dalam perhitungannya terdapat apa yang dinamakan dengan Interkalasi bulan (penyisipan bulan) tiap beberapa tahun sekali. Kalender lunisolar pada umumnya mengalami  7 (tujuh) kali penambahan bulan dalam kurun waktu 19 tahun, yang mana dalam sistem penanggalan Buddha lebih dikenal dengan Adhikamasa. Selain itu, berbeda dengan sistem-sistem penanggalan lunisolar lainnya disamping terdapat penambahan bulan pada sistem penanggalan Buddha mengenal pula penambahan hari (adhikavara), biasanya dalam kurun waktu 57 tahun terdapat 11 (sebelas) kali penambahan hari.[18] 
Penambahan hari tersebut bukanlah terjadi begitu saja, namun berdasarkan perhitungan yang cukup rumit. Pertama, hal ini dikarenakan dalam penanggalan Buddha mengenal apa yang dinamakan Mahayuga, yang mana dalam satu Mahayuga terdiri dari 4.320.000 tahun, sedangkan 4.320.000 tahun menurut perhitungan kalender Buddha terdiri dari 1.577.917.800 hari, sehingga jika berdasarkan perhitungan Mahayuga tersebut maka rata-rata hari dalam satu tahun adalah 365,25875 hari.[19]
Kedua, siklus interkalasi bulan pada kalender Buddha adalah 19 tahun dengan 7 tahun kabisat yang mana tiap tahun kabisatnya terdapat bulan ke-13 yang jumlahnya 30 hari, sehingga jika pada tiap tahun Basithoh kalender Buddha terdapat 354 hari maka jumlah hari setiap 1 (satu) siklus interkalasi bulan adalah:
(354 hari X 19 tahun) + (30 hari X 7 tahun) = 6.936 hari
Penambahan hari (interkalasi hari) pada sistem penanggalan Buddha berkaitan erat dengan dua hal yang telah disebutkan diatas (tahun Mahayuga dan Interkalasi bulan).
Siklus Interkalasi hari untuk sistem penanggalan Buddha adalah 57 tahun dengan 11 kali penambahan hari. Sebelas hari tambahan tersebut berasal dari perhitungan sebagai berikut:
57 tahun = 3 kali siklus interkalasi bulan, @ 19 tahun.
Jika tiap 1 (satu) siklus terdapat 6.936 hari, maka dalam 57 tahun terdapat 20.808 hari.
Sedangkan apabila perhitungan berdasarkan rata-rata hari dalam satu tahun menurut sistem Mahayuga, maka jumlah hari dalam 57 tahun adalah :
 365,25875 hari X 57 = 20.819,74875 hari, atau bisa dibulatkan menjadi 20.819 hari.
Sehingga dari perhitungan diatas dapat kita ketahui bahwa selisih antara tahun yang hanya menggunakan interkalasi bulan saja dengan tahun yang berdasarkan sistem Mahayuga adalah 11 (sebelas) hari setiap 57 tahun. Oleh karena itu, setiap 57 tahun diperlukan interkalasi hari sebanyak 11 kali untuk mensinkronkan kembali perhitungan kalender Buddha dengan sistem Mahayuga.
Interkalasi bulan (adhikamasa), sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, terjadi sebanyak 7 (tujuh) kali dalam kurun waktu 19 tahun. Penyisipan bulan tambahan yang berumur 30 hari tersebut dilakukan dengan ketentuan:
1.      Interkalasi bulan dilakukan pada tahun sebelum terjadinya 13 kali konjungsi dalam satu tahun.[20]
2.      Bulan ke-13 (bulan tambahan) diletakkan setelah bulan ke empat yaitu bulan Asadha dengan nama Asadha pula, sehingga dalam tahun panjang terdapat 2 bulan Asadha.[21]
Sedangkan untuk interkalasi hari (adhikavara) ditambahkan pada bulan Jyaistha (29 hari), sehingga dalam kurun 57 tahun terdapat 11 bulan Jyaistha yang genap (30 hari).[22]
Berdasarkan perhitungan interkalasi diatas, maka variasi jumlah hari dalam satu tahun kalender Buddha yaitu 345, 346, 385, dan atau 386, yang mana secara ringkas dapat dilihat pada tabel berikut ini: [23]
Regular Year (Tahun Basithoh)
Leap Year (Tahun Kabisat)
Caitra
29 hari
Caitra
29 hari
Vaisakha
30 hari
Vaisakha
30 hari
Jyaistha
29 hari/30 hari
Jyaistha
30 hari/29 hari
Asadha
30 hari
Asadha Pertama
30 hari


Asadha Kedua
30 hari
Sravana
29 hari
Sravana
29 hari
Bradapada
30 hari
Bradapada
30 hari
Asvina
29 hari
Asvina
29 hari
Karttika
30 hari
Karttika
30 hari
Margasirsa
29 hari
Margasirsa
29 hari
Pausa
30 hari
Pausa
30 hari
Magha
29 hari
Magha
29 hari
Phalguna
30 hari
Phalguna
30 hari
12 bulan
345 hari/346 hari
13 bulan
385 hari/386 hari

Vaisakha, Jyaistha, Asadha pertama dan Asadha kedua, ketika terjadi kasus yang keempat bulan tersebut secara berurutan mempunyai umur bulan yang sama yaitu 30 bulan, maka keempat bulan tersebut dijuluki "four even continuous months" (empat bulan genap yang sambung-menyambung).[24]
  1. Hari Penting Umat Buddha
Hari yang paling penting yang diperingati oleh umat Buddha diseluruh dunia adalah hari Waisak. Umat Buddha Theravada memperingati hari Waisak pada setiap purnama sidhi di bulan Vaisakha. Pada saat itu mereka memperingati tiga peristiwa penting dalam sejarah kehidupan sang Buddha sekaligus. Ketiga peristiwa tersebut yaitu; kelahiran sang Buddha, pangeran Sidhartha mencapai keBuddhaan, dan kematian sang Buddha.[25]
Sedangkan umat Mahayana memperingati ketiga peristiwa tersebut pada tiga waktu yang berbeda:[26]
1.      Kelahiran sang pangeran Sidhartha diperingati setiap tanggal 8 bulan ke-4 kalender China.
2.      Pangeran Sidhartha mencapai keBuddhaan, diperingati pada tanggal 8 bulan ke-12 kalender China.
3.      Parinibbana (wafatnya sang Buddha), diperingati pada tanggal 15 bulan ke-2 kalender China.
Selain hari waisak, umat Buddha juga memperingati perayaan penting lainnya. Hari suci umat Buddha Theravada selalu bertepatan pada saat malam bulan purnama saat hari uposatha, sebagaimana Waisak yang biasanya jatuh pada malam bulan purnama pada bulan Mei. Kemudian Asalha Puja, yaitu malam peringatan pertama kalinya Buddha menyampaikan Khotbahnya, biasanya jatuh pada pertengahan Juli, pada saat itu pula permulaan dari peringatan Vassa. Pada saat bulan purnama ke enam setelah Waisak adalah peringatan hari Pavaana, sekaligus pertanda akhir dari peringatan Vassa. Bulan purnama setelah itu adalah hari Anapanasati. Dua bulan selanjutnya peringatan Magha Puja, yaitu biasanya jatuh pada bulan purnama di bulan Maret.[27]
Kesimpulan
Kalender Buddha adalah termasuk kedalam jenis Lunisolar calendar. Sebagaimana yang ada pada jenis kalender Lunisolar lainnya, di dalam sistem penanggalan yang digunakan oleh kalender Buddha pun mengenal adanya interkalasi (penambahan) bulan, sehingga pada tahun panjang terdapat bulan ke-13. Penambahan bulan pada kalender Buddha adalah terdapat pada bulan Asadha, sehingga pada tahun panjang terdapat 2 bulan Asadha dalam satu tahun. Dalam kurun waktu 19 tahun terdapat 7 kali penyisipan bulan tambahan, yang masing-masing bulan tambahan tersebut berumur 30 hari.
Selain interkalasi bulan, pada sistem penanggalan Buddha juga terdapat interkalasi hari. Dalam kurun waktu 57 tahun terdapat 11 kali penambahan hari pada bulan Jyaistha.
Kalender Buddha perhitungannya dimulai dari tahun wafatnya sang Buddha, yaitu sekitar tahun 544 SM. Dalam penentuan permulaan bulannya antar satu aliran dengan aliran yang lainnya saling bersilang pendapat, sebagian memulai hitungan bulan ketika terbentuk Bulan baru, sebagian yang lain memulai hitungan bulannya ketika purnama. Meskipun demikian, semua aliran Buddha sepakat bahwa setiap bulan dalam kalender Buddha dibagi menjadi dua bagian, sebagaimana yang terdapat pada kalender Hindu.


[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Shofiyulloh, Op.cit, hlm. 36
[10] Ibid
[12] Shoffiyulloh, Log.cit
[13] http://www.Buddhanet.net/cal_week.htm , 09/10/2010 pkl 20.56
[17] Ibid
[19] Ibid
[20] Shofiyulloh, Log.Cit
[21] Ibid, hlm. 34
[24] Ibid
[25] Shofiyulloh, Op.cit, hlm. 35
[26] Ibid
[27] http://everything2.com, Log.cit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar