PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Telah kita ketahui
bersama bahwa setiap agama punya ciri khas sendiri untuk melakukan ritual
keagamaanya yang intinya semuanya menuju kebahagian sejati. Seperti Halnya
buddha ada ritual dan juga tempat yang dianggap sakral bahkan doapun menurut
mereka sesuatu yang sangat bernilai tinggi karena doa dalam persepsi buddha , doa adalah meditasi dengan perubahan
diri sebagai objeknya. Dan ini tidak akan tercapai jika tidak mengkondisikan
tiga hal yaitu pikiran, perkataan, dan perbuatan.
Disisi lain buddha juga mempunyai tempat yang mereka
anggap sangat sakral yaitu
1.
Tempat kelahiran Sang
Buddha
2.
Tempat Sang Buddha
mencapai penerangan
3.
Tempat Sang Buddha
memutar roda Kesunyataan yang Tiada Bandingnya (Dhammacakka)
4.
Tempat Sang Buddha mencapai Parinibbana
Kemudian buddha juga mempunyai hari yang mereka juga
menganggap sangat sakral atau yang disebut hari suci yaitu
- Hari Waisak
- Hari Asadha
- Hari Kathina
- Hari Magha Puja
Inilah sekilas sakralisasi yang buddha miliki namun rasa
kita kurang puas jika tika kita ketahui secara mendalam. Di BAB ini dari
kelompok 6 akan mempresetasikanya, insya Allah.
1.2.Tujuan
Tujuan penulis membuat makalah berjudul adalah “Makna
Puja (do’a), Hari Suci, Tempat Suci dan Ajaran Tentang Sangha” :
Ø Memberikan pengetahuan kepada pembaca mengenai makna puja, hari suci, tempat suci dalam Agama Buddha dan
Ajaran tentang Sangha
Ø Sebagai pemenuhan terhadap tugas makalah mingguan yang dibutuhkan sebagai syarat untuk
menyelesaikan matakuliah Budhaisme.
Ø Memberikan wawasan yang lebih dalam Agama Buddha kepada kami dan Mahasiswa yang lainnya.
1.3 METODE
Metode
yang digunakan penulis dalam mengumpulkan data penulisan makalah ini adalah
metode studi pustaka dari buku referensi yang terkait dan data dari internet.
1.4 SISTEMATIKA PENULISAN
Peulisan
makalah ini terdiri dari 3 bab. Bab pertama yaitu pendahuluan yang terdiri dari
latar belakang, tujuan, metode, dan sistematika penulisan. Sedangkan bab kedua
yaitu pembahasan yang terdiri dari Makna Puja (do’a), Hari suci, Tempat Suci, dan Ajaran tentang Sangha. Bab terakhir yaitu bab penutup yang berisi
kesimpulan dari isi makalah.
PEMBAHASAN
A. Makna Puja (Do’a)
Alam tidak memihak; alam tidak dapat disanjung oleh
doa; Alam tidak menghibahkan kemurahan khusus apapun atas permintaan; Manusia
bukanlah makhluk yang jatuh melainkan malaikat yang bangkit. Doa terjawab oleh
kekuatan pikiran mereka sendiri.[1]
Ajaran budha memberikan tanggung jawab dan martabat penuh
kepada manusia. Ajaran budha membuat manusia menjadi tuannya sendiri. Menurut
ajaran buddha, tidak ada makhluk yang lebih tinggi yang duduk untuk menghakimi
perbuatan dan nasib seseorang. Hal ini berati hidup kita, masyarakat kita,
dunia kita, adalah apa yang kamu dan saya ingin perbuat dengannya, dan bukan
apa yang diinginkan oleh makhluk antah berantah.
Ingatlah bahwa alam itu tidak memihak; tidak dapat
disanjung oleh doa-doa alam tidak menghibahkan kemurahan khusus apapun karena
permohonan. Jadi dalam ajaran agama buddha, doa adalah meditasi dengan
perubahan diri sebagai objeknya. Doa dalam meditasi akan mengkondisikan sifat
seseorang. Hal itu merupakan perubahan sifat dalam diri seseorang yang dicapai
dengan pemurnian tiga daya pikiran, perkataan, dan perbuatan. Melalui meditasi
kita dapat memahami bahwa ‘kita adalah apa yang kita pikirkan’, sesuai dengan
penemuan psikologi. Jika kita berdoa, kita mengalami suatu kelegaan dalam
pikiran kita; itulah efek psikologis yang kita ciptakan melalui iman dan devosi
kita. Setalah melafalkan ayat tertentu kita juga mengalami hasil yang sama.
Nama atau simbol religius tertentu adalah penting sejauh mereka menolong
mengembangkan devosi dan keyakianan diri. Namun harus tetap tidak dianggap
sebagai akhir segalanya.[2]
Sang buddha sendiri telah menyatakan dengan jelas bahwa
bukanlah pengucapan ayat-ayat suci, atau penyiksaan diri, atau tidur di atas
tanah, atau pengulangan doa-doa, penebusan dosa, kidung, jimat, mantra, jampi,
atau rapalan yang dapat membawa kebahagiaan sejati nibbana, namun hanya pemurnian pemikiran melaluli upaya sendirI
yang dapat melakukannya.
Mengenai doa-doa utnuk mencapai tujuan akhir, sang buddha
pernah membuat analogi tentang seorang manusia yang ingin menyebrang sungai.
Jika ia duduk dan berdoa, memohon agar tepian seberang datang kepadanya dan
membawanya ke seberang, maka doanya tidak akan terjawab. Jika ia benar-benar
ingin menyeberang sungai itu, ia harus berusaha; ia harus mencari balok kayu
dan membikin rakit, atau mencari jembatan, atau membuat perahu, atau barangkali
berenang. Dengan suatu cara ia harus bekerja untuk menyebrang sungai. Demikian
juga, jika ia ingin menyebrangi sungai Samsara,
doa-doa saja tidaklah cukup. Ia harus bekerja keras dengan menjalankan kehidupan religius, mengendalikan
nafsunya, menenangkan pikirannya, dan dengan menyingkirkan semua ketidakmurnian
dan kekotoran dalam pikirannya. Hanya dengan demikian ia dapat mencapai tujuan
akhir. Doa saja tidak akan pernah membawtanya tujuan akhir.
Jika diperlukan, hal itu sebaiknya digunakanutnk
memperkuat dan memusatkan pikiran dan bukan untuk memohon sesuatu. Doa berikut
dari seorang penyair mengajarkan kita bagaimna caranya berdoa. Umat buddha akan
menganggap hal ini sebagai meditasi untuk mengembangkan pikiran:
Semoga aku tak bedoa dijauhkan dari marabahaya,
Tapi berdoa agar tak takut menghadapinya.
Semoga aku tak bedoa untuk diredakan dari rasa
sakit,
Tapi demi hati yang menaklukanya.
Semoga aku tak rindu diselamatkan dari rasa takut,
Tapi bisa mengandalkan kesabaran
Untuk menenangkan kebebasanku[3]
Banyak
orang bersembahyang di depan arca Buddha untuk minta perlindungan, diberi
rezeki, diberi hok-khie, diberi usaha berjalan lancar, diberi anak, diberi
kesehatan, diberi jodoh, diberi rumah tangga yang rukun, sampai-sampai memohon
untuk diberi panjang umur, bahkan juga untuk anak, cucu, serta masyarakat
sekitarnya. Melihat fenomena demikian, muncul pertanyaan-pertanyaan yang perlu
dicermati untuk dijawab. Apakah permohonan demikian dapat dikabulkan sesuai dengan permohonan mereka? Kalau bisa,
begitu sederhanakah nasib seseorang sehingga bisa dirubah dalam waktu yang
begitu singkat dan begitu saja?
Fenomena
dan pertanyaan seperti yang digambarkan demikian, pasti pernah terlintas dalam
pikiran semua orang dan jadi penasaran, apa benar dan mengapa begitu? Untuk
menjawabnya, mari kita kaji kembali untuk memahami makna dari semua tindakan
yang telah dilakukan tersebut.
B. Hari Suci
[4]Dalam
upacara-upacara yang dilakukan umat Buddha terkandung dalam beberapa prinsip
penting yaitu:
1.
Menghormati dan
merenungkan sifat-sifat luhur Sang Triratna;
2.
Memperkuat keyakinan;
3.
Membina keadaan batin
yang luhur;
4.
Mengulang dan
merenungkan kembali Sang Buddha;
5.
Melakukan anumodhana,
yaitu membagi perbuatan baik kepada orang lain.
Upaca tersebut dilakukan secara harian, mingguan, setiap
hari upashota, yaitu setiap tanggal 1
dan 15berdasarkan penanggalan bulan, dan pada hari-hari raya agama Buddha.
Hari-hari raya Buddha tersebut adalah hari Waisak,
Asadha, Kathina dan Magha Puja. Hari Waisak biasanya jatuh pada bulan pernama
Sidhi, Mei-Juni, yang merupakan peringatan 3 peristiwa.
Yaitu, hari kelahiran Pangeran Siddharta (nama sebelum menjadi Buddha), hari
pencapaian Penerangan Sempurna Pertapa Gautama, dan hari Sang Buddha wafat atau
mencapai Nibbana/Nirwana. Hari Waisak juga dikenal dengan nama Visakah Puja
atau Buddha Purnima di India, Vesak di Malaysia dan Singapura, Visakha Bucha di
Thailand, dan Vesak di Sri Lanka. Nama ini diambil dari bahasa Pali “Wesakha”,
yang pada gilirannya juga terkait dengan “Waishakha” dari bahasa Sanskerta.[5]
Hari raya Asadha biasanya jatuh pada bulan purnama Sidhi bulan Juli-Agustus,
dua bulan setelah Waisak. Hari Asadha di peringati karena hari itu adalah hari
ketika Sang Buddha mengajarkan dharma yang pertama kali kepada kelima Pertapa,
yang di kenal dengan “pemutaran roda dharma”. Hari raya Kathina dirayakan tiga
bulan setelah hari Asadha, sebagai ungkapan perasaan terima kasih kepada para
bhikkhu yang telah menjalankan vassa,
berdiam di satu tempat tertentu, di daerah mereka. Hari raya Magha Puja
biasanya jatuh pada bulan purnama bulan Februari-Maret untuk memperingati dua
kejadian penting, yaitu berkumpulnya 1250 orang arahat di Wihara Veluvana di
kota Rajagraha untuk memberi hormat pada Sang Buddha, setelah mereka kembali
dari tugas menyebarkan dharma. Peristiwa penting kedua terjadi pada
tahunterakhir dari kehidupan Sang Buddha sewaktu berdiam di Cetiya Pavala, di
kota Vesali, setelah memberikankhotbah Iddhipada-dharma
kepada para siswanya dan membuat keputusan untuk meninggal dunia tiga bulan
kemudian.[6]
C.
Tempat Suci
Dalam tradisi agama Buddha, tempat-tempat suci dalam
Buddha adalah sesuatu yang sangat disakralkan (keramat atau disucikan) oleh
para perkumpulan, para penganut agama Buddha dan para orang sucinya.
Berdasarkan sejarah, duplikat tempat ibadah umat Buddha adalah Stupa, atau
gundukan pekuburan yang di dalamnya ada peninggalan dari sisa-sisa
tulang-tulang Buddha yang dikremasikan. Stupa berfungsi sebagai sesuatu penting
untuk tempat-tempat pemujaan, tapi melintas jauh ke dunia Buddha sebagaimana
tempat ibadah yang digunakan untuk pemujaan, terutama Buddha atau
bodhisattva-bodhisattva atau bodhisatwa.[7]
Sang Buddha lalu berbicara tentang empat tempat yang di
sucikan karena berhubungan dengan Beliau, yang seharusnya dikunjungi oleh para
pengikut yang setia dengan penuh penghormatan dan perasaan kagum. Empat tempat
suci tersebut adalah:
5.
Tempat kelahiran Sang
Buddha
6.
Tempat Sang Buddha
mencapai penerangan
7.
Tempat Sang Buddha
memutar roda Kesunyataan yang Tiada Bandingnya (Dhammacakka)
8.
Tempat Sang Buddha
mencapai Parinibbana[8]
Bukan saja tempat dimana Buddha mencapai kebangkitannya,
bahkan alam sendiri di anggap sakral bagi umat Buddha. Seperti replika dari
singgasana Buddha yang dianggap sesuatu sangat sakral. Roger. M. Keesing
(1976:1566) mengatakan bahwa sakral atau sakralisasi adalah proses menjadi
keramat atau transisi dari dunia sekular dunia biasa menuju kedunia kramat
sedangkan kramat adalah berhubungan dengan kekuatan-kekuatan tertinggi atau
yang melebihi kekuatan manusia, yang terdapat dialam semesta, memiliki arti
atau suasana keagamaan yang khas.
Bentuk dasar dari tempat keramat Buddha mereplikasikan
salah satu stupa-stupa ini, dengan gundukan pusat yang besar dikelilingi
susunan tangga dan puncaknya dengan struktur empat persegi dan
ditengah-tengahnya ada payung. Pada stupa yang paling pertama barang-barang
peninggalan Buddha ini disimpan pada struktur persegi, tapi kemudian diabadikan
di dalam gundukan pusat. Sebagaimana stupa-stupa yang berkembang di India,
gundukan tersebut di dekorasi dengan represetasi dari Buddha, dan peristiwa
dari kehidupannya, atau riwayat-riwayat penting dari naskah para Buddha. Untuk
memberi penghormatan pada Buddha, pada salah satu tempat keramat tradisional
ini, seorang penyembah dianjurkan memberi pujian (do’a).
Hampir setiap negara mempunyai stupa-stupa yang menjadi
kebesaran umat Buddha. Stupa dasar dikembangkan dengan banyak cara
wilayah-wilayah yang berbeda-beda. Di Tibet, sruktur stupa agama Buddha
tersebut memanjang kedalam kearah chorten
atau ‘tempat sesembahan’. Di China, Korea, dan Jepang, bentuk stupa itu
menjulang tinggi seperti pagoda diperoleh dari payung-payung yang anggun yang
digunakan untuk menghiasi puncak stupa di India. Setiap daerah atau negara
tampaknya bentuk stupa berbeda-beda, namun fungsinya tetap sama.
Para penganut Buddha India menetapkan suatu tradisi
pembangunan kuil yang mengikuti agama Hindu. Kuil yang paling awal di bangun
adalah Gua, yaitu di India Barat. Kadang-kadang patung Buddha yang tedapat di
ruang yang terpisah serupa dengan garbha-garbha atau “rumah peranakan” atau
‘Womh House” yang ada di kuil Hindu.
Tempat yang suci yang di bangun oleh para penganut Buddha
biasanya memiliki seni arsitektir yang luar biasa, lihat saja contohnya candi
Borobudur di Jawa Tengah. Contoh lain, puncak lengkungan kubah stupa yang
berdiri di Mount Meru, gunung kosmik Buddha yang menandai pusat India, dan
payung-payung yang muncul diatas stupa melambangkan tingkat surga berbeda pada
tradisi India kuno. Diatas payung-payung, ada ruang kosong dari langit-langit,
terletak bidang tak berbentukyang didapatkan oleh ‘orang suci Buddha di level
meditasi tertinggi dan ‘Buddha field’ merupakan tempat kediaman Buddhas dan
bodhisattva-bodhisattva yang berasal dari tradisi Mahayana.
Di dalam tradisi penganut Buddha, barang peninggalan dan
patung fisik Buddha yang di puja-puja di tempat suci merupakan bentuk badannya
Buddha atau melambangkan badannya Buddha. Ajarannya di kenal dengan ‘Dharma
body’, yang juga merupakan objek pemujaan banyak orang. Beberapa dari pengikut
Mahayana sutra mengatakan bahwa beberapa tempat dimana Dharma yang dijelaskan
seharusnya diberlakukan sebagai ‘tempat suci Buddha dan naskah-naskah India
klasik juga menggambarkan tempat suci Buddha’.
Di banyak tempat, banyak cara yang dilakukan orang untuk
menyembah Buddha, kebanyakan di Adam Peak di Sri Lanka. Menurut Tradisi
Theravada, Buddha menggunakan kekuatan superanaturalnya untuk terbang ke Sri
Lanka, dan meninggalkan jejak kakinya sebagai tanda kunjunganya. Jejak kaki
Buddha ini menjadi pusat pemujaan banyak orang yang percaya kepada Buddha.
Para penganut Buddha tidak hanya mengkramatkan
tempat-tempat suci yang nyata ada, tetapi juga tempat-tempat yang tidak nyata
atau tyersembunyi. Apocalyptic Kalackhra Tantra (roda Waktu), salah satu naskah
Tantrik yang terakhir di India, menceritakan sejarah kerajaan mistis
(tersembunyi) yang bernama Shambhala,
yang terletak tersembunyi di salah satu gunung di utara India dan diatur oleh
raja Buddha yang budiman.Naskah tersebut meramalkan suatuwaktu dimana kekuatan
jahat telah menaklukan dunia. Shambhala kemudian
akan menampakkan diri dan raja yang budiman akan muncul dari benteng-benteng
yang tinggi dan kokoh, di kepung oleh pasukannya, untuk mengalahkan kekuatan
jahat dan membangun kembali ajaran Dharma yang di bawa oleh Shiddharta Gautama
atau Buddha.
D.
Ajara Tentang Sangha
Dalam naskah-naskah Buddhis dijelaskan bahwa sangha
adalah pasamuan dari makhluk-makhluk suci atau ariya-puggala. Mereka adalah makhluk-makhluk suci yang telah
mencapai buah kehidupan beragama yang ditandai oleh kesatuan dari pandangan
yang bersih dan sila yang sempurna. Tingkatan kesucian yang telah mereka capai
terdiri dari sottapati, sakadagami, anagami dan arahat.
Tingkat sottapati
adalah tingkat kesucian pertama, dimana mereka masih menjelma tujuh kali lagi
sebelum mencapai nirwana. Pada tingkatan ini seorang satopatti masih harus mematahkan
belenggu kemayaan aku (sakkayaditthi),
keragu-raguan (vicikiccha), dan
ketakhayulan (silabataparamasa)
sebelum dapat meningkat ke sakadagami. Pada tingkat sakadagami, ia harus
menjelma sekali lagi sebelum mencapai nirwana. Ia harus dapat mebangkitkan
kundalini sebelum naik ke tingkat anagami.setelah mencapai anagami, ia tidak
harus menjelma lagi untuk mencapai nirwana namun harus mematahkan beberapa
belenggu yaitu kecintaan yang indrawi (kamaraga),
dan kemarahan atau kebencian (patigha)
sebelum mencapai tingkat terakhir, yaitu arahat. Setelah mematahkan belenggu
kamarag dan patigha, ia kemudian naik ketingkat arahat dan dapat langsung
mencapai nirwana di dunia maupun sesudah meninggalnya.
Selain ke empat tingkat kesucian di atas, dalam
kepercayaan Buddha juga di kenal adanya asheka,
yaitu orang yang sempurna (sabbanu)
yang tidak perlu belajar lagi di bumi ini. Diantara para asheka tersebut adalah Siddharta Gautama yang telah mencapai
tingkat kebuddhaan tanpa harus belajar dan berguru kepada orang lain.
Dalam sejarah Buddha,
sangha di bentuk sendirioleh Sang Buddha beberapa minggu setelah ia mencapai
pencerahan. Anggotanya yang pertama adalah Kondana, Badiya, Wappa, Mahanama dan
Asaji, yaitu murid-murid Sang Buddha yang pertama kali. Diantara mereka Kondana
adalah muridpertama yang mencapai tingkat arahat.
Sangha adalah inti masyarakat Buddha yang dapat
menciptakan suasana yang diperlukan untuk mencapai tujuan hidup tertinggi,
yaitu nirwana. Dari umat Buddha sangha patut menerima pemberian (ahu-neyyo), tempat berteduh (pahuneyyo), persembahan (dakkhineyyo), penghormatan (anjalikarananiyo), dan merupakan
lapangan untuk menanam jasa yang tidak ada taranya di dunia (anuttaram pannakhettam lokassa).
Menurut kepercayaan umat Buddha, sangha tidak dapat dipisahkan
dan dharma dan Buddha, karena kegiatannya adalah Triratna yang membentuk
kesatuan tunggal dan merupakan manifestasi berasas tiga dari Yang Mutlak di
dunia.
Kata
Tiratana terdiri dari kata Ti, yang artinya tiga dan Ratana, yang artinya
permata / mustika; yang maknanya sangat berharga. Jadi, arti Tiratana secara
keseluruhan adalah Tiga Permata (Tiga Mustika) yang nilainya tidak bisa diukur;
karena merupakan sesuatu yang agung, luhur, mulia, yang perlu sekali dimengerti
(dipahami) dan diyakini oleh umat Buddha.
Hubungan antara ketiganya sering digambarkan sebagai
berikut : “Buddha sebagai bulan pernama, dharma sebagai sinarnya yang menyinari
dunia, dan sagha sebagai dunia yang berbahagia menerima sinar tersebut.”
Sebagai suatu bentuk masyarakat keagamaan, sangha terbuka
bagi setiap umat Buddha untuk memasuki dan bergabung di dalamnya, dengan
melalui tahap-tahap tertentu. Tahap pertama di mulai ketika umat Buddha
menerima jubah kuning dan memasuki persaudaraan para bhikkhu atau bhikkhuni.
Sebelum secara penuh di terima sebagai seorang bhikkhu atau bhikkhuni, ia di
haruskan untuk menjalani hidup sebagai calon bhikkhu atau samanera dengan
mengucapkan dan menepati “dasa sila atau sepuluh janji”, tekun mempelajari
dharma, menggunakan waktu luangnya untuk perenungan suci di bawah asuhan
seseorang bhikkhu atau guru (acarya) yang dipilhnya sendiri.setelah ia dapat
melakukan semua itu, maka ia di terima secara penuh sebagai bhikkhu dalam suatu
upacar penahbisan (upasanampada) yang dihadiri oleh para sesepuh (thera-thera).
Setelah menjadi bhikkhu ia harus menjalani hidup bersih
dan suci seperti yang tertulis dalam Vinaya Pitaka, menjalani 227 peraturan
yang garis besarnya adalah:
1.
Peraturan yang
berhubungan dengan tata tertib lahiriah;
2.
Peraturan yang
berhubungan dengan cara penggunaan makanan dan pakaian serta lain-lain
kebutuhan hidup;
3.
Cara menanggulangi nafsu
keinginan dan rangsangan batin;
4.
Cara untuk memperoleh
pengetahuan batin yang luhur untuk penyempurnaan diri.[9]
Dalam masa lima tahun pertama kehidupannya sebagai
bhikkhu, ia masih berada dalam ikatan keguruan, dan setelah lebih kurang 10
tahun ia disebut thera.
Masyarakat awam umat Buddha terdiri atas upasaka
dan upasaki yang telah mengakui Sang Buddha sebagai pemimpin dan guru, mengakui
dan meyakini kebenaran ajaranyya, serta berusaha dengan sungguh-sungguh
menjalankan. Pengakuan tersebut dinyatakan dalam niat dan tekad untuk
berlingung kepada Buddha untuk berlindung kepada Buddha , dharma dan sangha
dengan mengucapkan trisarana, yaitu:
“Buddhang saranang gacchami, saya berilndung kepada Buddha. Dhamang saranang
gacchami, saya berlindung kepada dharma. Sanghang saranang gacchami, saya
berindung kepada sangha”. Setelah mengucapkan Trisarana tersebut, seorang
upasaka atau upasaki terikat secara rohaniah untuk melaksanakan dan mengamalkan
ajaran Sang Buddha dalam kehidupannya sehari-hari.
Kesimpulan
Dalam naskah-naskah
Buddhis dijelaskan bahwa sangha adalah pasamuan dari makhluk-makhluk suci atau ariya-puggala. Mereka adalah
makhluk-makhluk suci yang telah mencapai buah kehidupan beragama yang ditandai
oleh kesatuan dari pandangan yang bersih dan sila yang sempurna. Tingkatan
kesucian yang telah mereka capai terdiri dari sottapati, sakadagami, anagami
dan arahat.
Dalam tradisi agama
Buddha, tempat-tempat suci dalam Buddha adalah sesuatu yang sangat disakralkan
(keramat atau disucikan) oleh para perkumpulan, para penganut agama Buddha dan
para orang sucinya. Berdasarkan sejarah, duplikat tempat ibadah umat Buddha
adalah Stupa, atau gundukan pekuburan yang di dalamnya ada peninggalan dari
sisa-sisa tulang-tulang Buddha yang dikremasikan. Stupa berfungsi sebagai
sesuatu penting untuk tempat-tempat pemujaan, tapi melintas jauh ke dunia
Buddha sebagaimana tempat ibadah yang digunakan untuk pemujaan, terutama Buddha
atau bodhisattva-bodhisattva atau bodhisatwa.[10]
Hari-hari raya Buddha tersebut adalah hari Waisak,
Asadha, Kathina dan Magha Puja.
beberapa video penunjang...
(waisak) http://youtu.be/2vrJlAT7oek
Daftar Pustaka
v
Ali, M. (1988). Agama-Agama Dunia. Yogyakarta: IAIN
Sunan Kalijaga.
v
Dhammananda,
S. (2005). Keyakinan Umat Buddha. Karaniya.
v
Mahathera,
N. (1990). Sang Buddha dan Ajaran-AjaraNya. Jakarta: Upi Visakha
Gunadharma.
v Tanggok, M. I. (2009). Agama
Buddha. Jakarta: Lembaga Peneliti UIN Jakarta.
v
Kaharuddin,
P. J. (2005). Kamus Umus Buddha Dharma. Jakarta: Tri Sattva Buddhist
Centre.
[1] Sri Dhammananda, Keyakinan Umat Buddha, (Karaniya, 2005), hal. 292
[2] Ibid
293
[4] H. A. Mukti Ali, “Agama-Agama Dunia”,
(Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), hal 132
[6] H. A. Mukti Ali, “Agama-Agama Dunia”,
(Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), hal 133
[7] M Ikhsan Tanggok, “Agama Buddha”,(Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009),
hal 76
[8] Narada Mahathera, “ Sang Buddha da
Ajaran-Ajarannya”, (Jakarta: Uvi Visakha Gunadharma, 1990), hal 181
[9] H. A. Mukti Ali, “Agama-Agama Dunia”,
(Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), hal 131
[10] M Ikhsan Tanggok, “Agama Buddha”, Lembaga
Penelitian UIN Jakarta, Jakarta: 2009, hal 76
Tidak ada komentar:
Posting Komentar