KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kami
panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan judul “
Tripitaka, Catur Arya Satyani dan Hukum Karma’’
Tujuan penulisan
makalah ini adalah untuk memenuhi tugas diskusi mingguan pada mata kuliah
Budhisme dan tentu saja untuk menambah khazanah wawasan keilmuan kita tentang
Budhsime.
Dalam penyusunan
makalah ini kami berusaha menjelaskan tentang kitab-kitab suci agama Budha yang
dikenal dengan sebutan Tripitaka dan Empat Kesunyataan Suci yang disebut dengan
Catur Arya Satyani serta Hukum Karma.
Kami menyadari bahwa penulisan makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka
dari itu kami mohon kritik dan saran
dari pembaca sehingga pada penulisan makalah berikutnya bisa lebih baik
lagi.
Semoga makalah
sederhana ini bermanfaat untuk kita semua. Aamiin
I.
Tripitaka
Tripiṭaka
(bahasa
Pali:
Tipiṭaka;
bahasa Sanskerta:
Tripiṭaka)
merupakan istilah yang digunakan oleh berbagai sekte Buddhis untuk
menggambarkan berbagai naskah kanon mereka. Sesuai dengan makna istilah
tersebut, Tripiṭaka
pada mulanya mengandung tiga "keranjang" akan berbagai pengajaran: Sūtra
Piṭaka
(Sanskrit; Pali: Sutta Pitaka),
Vinaya Piṭaka
(Sanskrit & Pali) dan Abhidharma
Piṭaka
(Sanskrit; Pali: Abhidhamma Piṭaka).
Dalam buku
What Buddhists Believe yang ditulis oleh K. Sri Dhammananda dijelaskan: “Tripitaka
is the collection of the teachings of the Buddha over 45 years in the Pali
language, and it consists of Sutta conventional teaching, vinaya disciplinary
code and Abidhama moral psychology”
(Tripitaka adalah kumpulan ajaran-ajaran
Sang Buddha lebih dari 45 tahun dalam bahasa Pali, dan
terdiri dari pengajaran Sutta
konvensional, vinaya disiplin kode dan Abidhama
psikologi moral ").[1]
Ajaran
sang Budha yang telah diajarkan oleh sang Budha kepada para siswanya melalui
khotbah-khotbah beliau yang disampaikan dengan metode tanya jawab dan dialog
antara sang Budha dengan para siswanya. Ajaran sang Budha tersebut disebut
Dharma (Bahasa Sansekerta) atau Damma (Bahasa Pali). Dharma atau Damma ini baru
dituliskan 400 tahun setelah wafatnya sang Budha.
Dharma
atau Dhamma ini bersifat sederhana, obyektif dan dapat menghadapi tantangan
logika dan ilmu. Dharma indah pada permulaannya, indah pada pertengahannya dan
indah pula pada akhirnya. Dharma mengajarkan kepada kita untuk percaya kepada
diri sendiri, tidak tergantung oleh orang lain secara melekat, dapat berdiri
sendiri. Dengan kekuatan dan kepercayaan diri sendiri, umat Budha berusaha
untuk mencapai kebahagiaan lahir batin dan kesempurnaan hidup.[2]
Dharma
mengajarkan bagaimana caranya kita melaksanakan perbuatan baik dan bagaimana
caranya untuk mengindari perbuatan jahat. Dhamma mengajarkan tentang cinta
kasih dan kasih sayang, tentang perasaan senang melihat kebahagiaan orang lain,
membina keseimbangan batin, yang dapat menciptakan adanya keserasian antara
kepentingan pribadi dan kepentingan masyarakat. Dhamma mengajarkan tentang
sebab penderitaan dan jalan untuk membebaskan diri dari cengkeraman penderitaan.
Dharma menunjukkan jalan yang menuju ke kebahagiaan yang abadi yakni
kebahagiaan di mana tiada lagi terjadi penderitaan, kelahiran, umur tua, dan
kematian atau nirvana (Nibbana). Dhamma mengajarkan umat manusia memasuki
nirvana (Nibbana). Dhamma mengajarkan mengenai Samadhi, sebagai sarana untuk
mencapai pengetahuan tertinggi yang disebut kesunyataan.[3]
Untuk
dapat melaksanakan dhamma dalam kehidupan, pertama-tama hendaknya kita mengerti
tentang hakikat dhamma, untuk kemudian dapat menghayati dengan mendalam Dhamma
tersebut, sehingga kita dapat mencapai tujuan yang terakhir kita selaku umat
Budha yaitu kehidupan yang bebas dari penderitaan yang disebut dengan nirvana
(Nibbana).
Dhamma
dapat dipelajari atas tiga tingkatan, yaitu pada tingkatan pertama, kita
mempelajari Dhamma itu dan tingkatan ini disebut tingkatan belajar (Pariyatta).
Setelah itu kita sampai pada tingkat mengamalkan Dhamma (Pattipatta). Yang
terakhir kita sampai pada tingkat mencapai tujuan atau mencapai hasil
(Pativetta).[4]
Ajaran agama Budha bersumber pada
kitab Tripitaka yang merupakan kumpulan khotbah, keterangan, perumpamaan, dan
percakapan yang pernah dilakukan sang Budha dengan para siswa dan pengikutnya.
Isi kitab tersebut semuanya tidak berasl dari kata-kata sang Budha sendiri,
melainkan juga kata-kata dan komentar-komentar dari para siswanya. Oleh para
siswanya sumber ajaran tersebut dipilah menjadi tiga kelompok besar, yang
dikenal dengan vitaka atau keranjang, yaitu: Vinaya Vitaka, Sutta Vitaka, dan
Abidhama Vitaka.[5]
Adapun
ketiga kitab suci tersebut, secara lebih rinci dijelaskan sebagai berikut:
1.
Kitab Suci Vinaya Vitaka
Kitab ini berisi peraturan tata tertib yang wajib
dilaksanakan oleh para Bikkhu yang juga
berisi tentang kehidupan Sang Budha, [6]
dan terdiri atas Sutra Vibanga, Khandaka dan Parivara. Kitab Sutra Vibanga
berisi peraturan-peraturan yang mencakup delapan jenis pelanggaran, diantaranya
terdapat empat jenis pelanggaran yang dapat menyebabkan seorang Bikhu atau
Bikhuni dikeluarkan dari Kitab Sangha. Kitab Khandaka memuat peraturan dan
uraian yang berkenaan dengan upacara penahbisan Bikhu, antara lain berisi
peraturan untuk menangani pelanggaran-pelanggaran dan tata tertib penerimaan
seorang Bikhu dan sebagainya. Dalam kitab ini diceritakan pu;la tentang
pasamuan agung pertama di Rajagraha dan pasamuan agung kedua di Vesali. Adapun
kitab Parivara memuat ringkasan dan pengelompokkan peraturan vinaya yang
disusun dalam bentuk Tanya jawab untuk dipergunakan dalam pengajaran dan ujian.[7]
K. Sri
Dhammananda menjelaskan dalam bukunya “What Budhdhist Believe”:
The
Vinaya Pitaka mainly deals with the rule and regulations of the Order of monks
(Bikkhus) and Nuns (Bikkhunis). It describes in detail the gradual development
of the Sasana (Dispensation). It also gives an account of the life and ministry
of the Buddha. Indirectly it reveals some useful information about ancient
hystory, Indian customs, arts, sciences, etc.(Vinaya Pitaka terutama berkaitan dengan aturan dan peraturan Ordo biarawan (Bikkhus) dan biarawati (Bikkhunis). Ini
menggambarkan secara rinci perkembangan
bertahap dari Sasana (Dispensasi). Hal ini juga memberikan penjelasan tentang kehidupan dan pelayanan
Sang Buddha. Secara tidak langsung
mengungkapkan beberapa informasi yang berguna
tentang hystory kuno, adat
istiadat India, seni, ilmu pengetahuan,
dll)
For
nearly twenty years since His Enlightement, the Buddha did not lay down rules
for the control of the Sangha. Later, as the occasion arose, the Buddha
promulgated rules for the future discipline of the Sangha (Selama hampir
dua puluh tahun sejak masa
pencerahan Nya, Sang Buddha tidak meletakkan aturan-aturan untuk mengontrol Sangha.
Kemudian, ketika kesempatan itu muncul, maka Buddha mengumumkan aturan untuk masa depan Sangha).[8]
Adapun pembagian Vinaya Pitaka ialah:
a. Sutta
Vibhanga
·
Bhikkhu Vibhanga - berisi 227 peraturan yang mencakup 8
jenis pelanggaran, di antaranya terdapat 4 pelanggaran yang menyebabkan
dikeluarkannya seorang Bhikkhu dari Sangha dan tidak dapat menjadi Bhikkhu
lagi seumur hidup. Keempat pelanggaran itu, adalah berhubungan kelamin,
mencuri, membunuh atau menganjurkan orang lain bunuh diri, dan membanggakan
diri secara tidak benar tentang tingkat-tingkat kesucian atau kekuatan-kekuatan
batin luar biasa yang dicapai. Untuk ketujuh jenis pelanggaran yang lain
ditetapkan hukuman dan pembersihan yang sesuai dengan berat ringannya
pelanggaran yang bersangkutan.
·
Bhikkhuni Vibhanga - berisi peraturan-peraturan yang serupa
bagi para Bhikkhuni, hanya jumlahnya lebih banyak
b. Khandaka
Memuat
peraturan dan uraian yang berkenaan dengan upacara penahbisan Bikhu, antara
lain berisi peraturan untuk menangani pelanggaran-pelanggaran dan tata tertib
penerimaan seorang Bikhu dan sebagainya.
Dalam
kitab ini diceritakan pu;la tentang pasamuan agung pertama di Rajagraha dan
pasamuan agung kedua di Vesali.
Kitab Khandhaka terbagi atas:
·
Kitab Mahavagga - berisi peraturan-peraturan dan uraian
tentang upacara pentahbisan Bhikkhu; upacara uposatha pada saat bulan purnama
dan bulan baru di mana dibacakan Patimokha (peraturan disiplin bagi para
Bhikkhu); peraturan tentang tempat tinggal selama musim hujan (vassa); upacara
pada akhir vassa (pavarana); peraturan-peraturan mengenai jubah, peralatan,
obat-obatan dan makanan; pemberian jubah Kathina setiap tahun;
peraturan-peraturan bagi para Bhikkhu yang sakit; peraturan tentang tidur;
peraturan tentang bahan jubah; tata cara melaksanakan Sanghakamma (upacara
Sangha); dan tata cara dalam hal terjadi perpecahan.
·
Kitab Culavagga - berisi peraturan-peraturan untuk menangani
pelanggaran-pelanggaran; tata cara penerimaan kembali seorang Bhikkhu ke dalam
Sangha setelah melakukan pembersihan atas pelanggarannya; tata cara untuk
menangani masalah-masalah yang timbul; berbagai peraturan yang mengatur cara
mandi, pengenaan jubah, menggunakan tempat tinggal, peralatan, tempat bermalam
dan sebagainya; mengenai perpecahan kelompok-kelompok Bhikkhu;
kewajiban-kewajiban guru (acariya) dan calon Bhikkhu (samanera); pengucilan
dari upacara pembacaan Patimokkha; pentahbisan dan bimbingan bagi Bhikkhuni;
kisah mengenai Pasamuan Agung Pertama di Rajagaha; dan kisah mengenai Pasamuan
Agung Kedua di Vesali.
c. Parivara
Kitab
Parivara memuat ringkasan dan pengelompokan peraturan-peraturan Vinaya, yang
disusun dalam bentuk tanya jawab untuk dipergunakan dalam pengajaran dan ujian.[9]
2.
Kitab Suci Sutta Pitaka
The Sutta
Pitaka consists chiefly of discourses delivered by the Buddha Himself on
various occasions. There are also a few discourses delivered by some of His
distinguished disciples, such as the Venerable Sariputta, Ananda, Mogallana,
etc. included in it. It like a book of prescriptions, as the sermons embodied
therein were expounded to suit the different occasions and the temperaments of
various persons. There may be seemingly contradictory statements, but they
should not be misconstrued as they were opportunely uttered by the Buddha to
suit a particular purpose.[10]
(Sutta Pitaka terdiri dari wacana yang disampaikan oleh Buddha sendiri di
berbagai kesempatan. Ada juga beberapa wacana disampaikan oleh beberapa
murid-Nya yang dibedakan, seperti Yang Mulia Sariputta, Ananda, Mogallana, dll
termasuk yang di dalamnya ini khotbah
yang terkandung di dalamnya yang telah diuraikan sesuai dengan kesempatan yang
berbeda dan temperamen dari berbagai orang yang berbeda pula. Mungkin tampaknya ada pernyataan yang kontradiktif, tetapi mereka tidak
menyalahartikan karena diucapkan oleh
Sang Buddha untuk memenuhi tujuan tertentu).
Sutta Pitaka terdiri atas lima “kumpulan” (nikaya) atau
buku, yaitu:
a.
Digha Nikaya
Merupakan buku pertama dari Sutta
Pitaka yang terdiri atas 34 Sutta Panjang, dan terbagi menjadi tiga Vagga,
yaitu: Silakhandavagga, Mahavagga dan Patikavaga. Beberapa di antara
Sutta-sutta yang terkenal ialah: Brahmajala Sutta (yang memuat 62 pandangan
salah), Samannaphala Sutta (menguraikan buah kehidupan seorang Pertapa),
Sigalovada Sutta (memuat patokan-patokan yang penting bagi kehidupan
sehari-hari umat berumah tangga), Mahasati Patthana Sutta (memuat secara
lengkap tuntunan untuk meditasi Pandangan Terang atau Vippasana), Mahapari
Nibbana Sutta (Kisah mengenai hari-hari terakhir Sang Budha).[11]
b.
Majjhima Nikaya
Merupakan buku kedua dari Sutta
Pitaka yang memuat khotbah-khotbah menengah. Buku ini terdiri atas tiga bagian
(Pannasa), dua Pannasa pertama terdiri atas 50 Sutta dan Pannasa terakhir
terdiri atas 52 Sutta, seluruhnya berjumlah 152 Sutta. Beberapa sutta
diantaranya ialah Ratthanapala Sutta, Vasetha Sutta, Angulimala Sutta,
Anapanasti Sutta, Kayagatasati Sutta, dan sebagainya.[12]
c.
Anguttara Nikaya
Merupakan buku ketiga dari Sutta
Pitaka, yang terbagi atas sebelas Nipata (bagian) dan meliputi 9557 Sutta.
Sutta-sutta disusun menurut urutan bernomor, untuk memudahkan pengingatan.
d.
Samyutta Nikaya
Merupakan buku keempat dari Sutta Pitaka yang terdiri atas
7762 Sutta. Buku ini dibagi menjadi lima Vagga utama dan 56 bagian yang disebut
Samyutta.
e.
Khuddaka Nikaya
Merupakan buku kelima dari Sutta Pitaka yang terdiri
atas kumpulan lima belas kitab.[13]
Kemudian dibagi lagi menjadi lima belas buku, yaitu:
1.
Khuddaka Patha
2.
Dhammapada
3.
Udana
4.
Iti Vuttaka
5.
Sutta Nipata
6.
Vimana Vatthu
7.
Peta Vatthu
8.
Theragatha
9.
Therigatha
10.
Jataka
11.
Niddesa
12.
Patisambhida
13.
Apadana
14.
Buddhavamsa
15.
Cariya Pitaka
3.
Abhidhamma pitaka
Abidhamma Pitaka berisi uraian
filsafat Buddha Dhamma yang disusun secara analitis dan mencakup berbagai
bidang, seperti: ilmu jiwa, logika, etika, metafisika.[14]
The Abidhamma is the most important
and interesting, as it contains the profound philosophy of the Buddha’s
teaching in contrast to illuminating but simpler discourses in the Sutta
pitaka. (Para Abidhamma adalah bagian
yang paling penting dan menarik, karena
mengandung filosofi
yang mendalam mengenai ajaran Sang Buddha dan sederhana dalam
pembahasan mengenai Sutta Pitaka.
In the
Sutta Pitaka one often finds references to individual, being, etc. but in the Abidhamma
instead of such conventional terms, we meet with ultimate terms such as
aggregates, mind matter, etc. In the Sutta itaka is found the Vohara Desana
(Conventional Teaching), whilst in the Abidhamma is found the Paramattha Desana
(Ultimate Doctrine).[15]
(Dalam Sutta Pitaka seringkali menemukan referensi
terhadap individu tertentu, dll tetapi dalam Abidhamma bukan hal yang seperti itu,
kita menemukan hal-hal yang utama seperti selisih, materi
pikiran, dll Dalam pitaka Sutta ini
menemukan Desana Vohara (Konvensional pengajaran), sementara dalam Abidhamma
ini menemukan Desana paramattha (ajaran terakhir).
Kitab ini terdiri atas tujuh jilid
buku, yaitu:
a.
Dhammasangani
Menguraikan etika dari sudut pandang ilmu jiwa.
b.
Vibhanga
Menguraikan apa yang terdapat dalam buku dhammasangani
dengan metode yang berbeda. Buku ini terbagi menjadi delapan bab (Vibhanga),
dan masing-masing bab mempunyai tiga bagian: Suttantabhajaniya,
Abidhammabhajaniya, dan Pannapuccakha atau daftar pertanyaan-pertanyaan.
c.
Dhatukatha/Katha Vatthu
Terutama bicarakan mengenai unsure-unsur batin. Buku ini
terbagi menjadi empat belas bagian.
d.
Puggalapannatti
Menguraikan mengenai jenis-jenis watak manusia (punggala),
yang dikelompokkan menurut urutan bernomor, dari kelompok satu sampai dengan
sepuluh, sepuluh, seperti system dalam Kitab Angguttara Nikaya.
e.
Kathayattthu
Terdiri atas dua puluh tiga bab yang merupakan kumpulan
(percakapan-percakapan Katha) dan sanggahan terhadap pandangan-pandangan salah yang
dikemukakan oleh berbagai sekte tentang hal-hal yang berhubungan teologi dan
metafisika.
f.
Yamaka
Terbagi menjadi sepuluh bab (yang disebut Yamaka): Mula,
Khandha, Ayatana, Dhatu, Sacca, Sankhara, Anusaya, Citta, Dhamma, dan Indriya.
g.
Patthana
Menerangkan mengenai “sebab-sebab” yang berkenaan dengan dua
puluh empat Paccaya (hubungan-hubungan antara bathin dan jasmani).[16]
II.
Catur Arya Satyani (Cattari Ariya
Saccani)
Diartikan sebagai empat kesunyataan Suci. Dalam khotbah-Nya
yang pertama di Taman Rusa Isipatana yang terkenal dengan nama Dhamma
Cakkappavattana Sutta (Khotbah Pemutaran Roda Dhamma), Sang Buddha Gotama telah
mengajarkan secara singkat Empat Kesunyataan Suci (Cattari Ariya Saccani), yang
menjadi landasan pokok Buddha Dhamma, Empat Kesunyataan Suci tersebut ialah:
1. Kesunyataan Suci Tentang Dukkha
(Dukkha Ariyasacca)
Kata
“dukkha” disini yang menyatakan pandangan Sang Buddha tentang kehidupan dan
dunia, mempunyai pengertian filosofis yang mendalam dan mencakup bidang yang
amat luas. Dalam khotbah-Nya yang pertama setelah mrncapai penerangan sempurna.
Beliau merumuskan dukkha dengan:
“Kelahiran,
usia tua, dan kematian adalah dukkha; kesakitan, keluh kesah, ratap tangis,
kesedihan dan putus asa adalah dukkha; berpisah dengan yang dicintai, berkumpul
dengan yang tidak disenangi, dan tidak memperoleh apa yang diingini adalah
dukkha. Dengan ringkas jasmani dan batin (segala bentuk kehidupan) adalah
dukkha”.[17]
Banyak
orang yang salah mengerti terhadap ajaran ini, dan beranggapan bahwa Buddha
Dhamma adalah ajaran yang pesimistis, yang memandang dunia ini dari sudut
pandang yang negatif. Karena itu disini perlu ditegaskan bahwa Buddha Dhamma
bukanlah ajaran yang bersifat pesimistis atau optimistis, sang Buddha adalah
seorang realis dan obyektif. Beliau memandang segala sesuatu menurut hakikat
yang sebenarnya berdasarkan Pandangan Terang (yathabutamnanadassanam).
Ketika
menerangkan dukkha, beliau juga mengakui adanya berbagai bentuk “kebahagiaan”,
material dan spiritual. Akan tetapi kebahagiaan-kebahagiaan itu sendiri adalah
bersyarat, selalu berubah-ubah dan tidak kekal, karena itu harus digolongkan
dalam dukkha (anicca dukkha viparinamadhamma); dukkha bukan merupakan
“penderitaan” dari kata umum, tetapi karena segala sesuatu yang tidak kekal
adalah dukkha (yad aniccam tamdukkham).[18]
Maka dari
itu, dukkha disini mempunyai tiga pengertian, yaitu:
1) Dukkha yang nyata, yang benar-benar
dirasakan sebagai derita tubuh atau derita bathin, seperti sakit, susah hati
(dukkha-dukkha).
2) Semua perasaan senang dan bahagia
berdasarkan sifat tidak kekal, yang didalamnya terkandung benih-benih dukkha
(viparinama dukkha).
3) Sifat tertekan dari semua sankhara
(bentuk/keadaan yang bersyarat) yang selalu muncul dan lenyap, seperti
pancakkhandha (lima kelompok kehidupan) atau nama rupa (sankharadukkha).
2. Kesunyataan Suci Tentang Asal Mula
Dukkha (Dukkhasanudaya Ariyasacca)
Asal mula dukkha ialah “keinginan
rendah” (Tanha), yang menyebabkan kelahiran berulang-ulang bersama dengan hawa
nafsu yang mencari keikmatan ke sana ke mari (ponobhavika nandiragasahagata
tatratatrabhinandini), yang terdiri atas:
-
Keinginan akan hawa nafsu Inderawi (Kama-Tanha)
-
Keinginan akan hawa nafsu penjelmaan (bhava-tanha)
-
Keinginan akan hawa nafsu pemusnahan (vibhava-tanha)
3. Kesunyataan Suci Tentang Lenyapnya
Dukkha (Dukkhanirodha Ariyasacca)
Lenyapnya
dukkha, berakhir sama sekali, dilepaskannya, ditinggalkannya, terbebas dari,
tidak terdapatnya keinginan rendah (tanha) ini; atau dengan kata lain:
tercapainya Nibbana.
4. Kesunyian Suci Tentang jalan Menuju
Lenyapnya Dukkha (Dukkhanirodhagamini-patipada Ariyasacca)
Jalan
mulia menuju lenyapnya dukkha ialah “Jalan Mulia Berunsur Delapan” (Ariya
Atthangika Magga). Juga dikenal dengan “Jalan Tengah” (majjahima Patipada),
oleh karena “jalan” ini menghindari dan berbeda di luar cara hidup yang
ekstrim, yaitu: pemuasan nafsu indra yang berlebihan, penyiksaan diri, dan
sekaligus mengajarkan suatu cara berfikir di tengah-tengah yang menghindari
kedua kutub pandang, yaitu pandangan tentang “kekekalan” (sassataditthi) dan
“kemusnahan” (ucchedda ditthi).
Dengan
ajaran ini kita dapat membedakan antara unsur-unsur berikut: suci dan tidak
suci (ariya dan anariya), baik dan buruk (kusala dan akusala), berguna dan
tidak berguna (attha dan anattha), benar dan salah (dhamma dan adhamma),
tercela dan tidak tercela (savajja dan anavajja), jalan hidup yang terang dan
jalan hidup yang gelap (tapaniya dan anatapaniya), dan sebagainya.
Perlu
ditekankan bahwa Jalan Mulia Berunsur Delapan ini bukanlah terdiri atas delapan
buah jalan, yang harus diikuti satu persatu, akan tetapi sebenarnya adalah
“satu jalan” yang mempunyai delapan factor di dalamnya. Karena sesuai dengan
kemampuan individu.
III.
Hukum Karma
Salah satu masalah yang selalu dipikirkan manusia sejak
zaman dahulu sampai sekarang adalah masalah tentang keadaan setelah kematian.
Di india kepercayaan pada kelahiran kembali atau adanya kehidupan baru sesudah
kematian merupakan karakteristik dari berbagai ajaran agama sejak dahulu.
Kelahiran kembali tidak dapat dipisahkan dengan hukum karma. Ajaran agama budha
maupun ajaran-ajaran agama lain di India mengajarkan hukum karma dan kelahiran
kembali. [19]
Hukum karma ialah salah satu ajaran yang penting dalam agama
budha. Hukum karma merupakan ajaran yang amat dalam dan rumit, maka untuk itu
dibutuhkan suatu uraian yang rinci untuk memahamiya.
Secara umum, Karma berarti perbuatan. Umat budha memandang
hukum karma sebagai hukum universal tentang sebab dan akibat yang juga
merupakan hukum moral yang impersonal.
Ajaran agama budha menekankan keyakinan akan adanya Tuhan
Yang Maha Esa ‘’ yang tak dilahirkan, yang tak dijadikan. Yang dibuat dan yang
mutlak. Kemutlakan Tuhan Yang Maha Esa adalah impersional yang tak dapat
dijabkan secara anthropomorphisme (mempunyai raga atau bentuk seperti manusia
maupun secara anthropopatisme (memepunyai sifat seperti manusia). Dengan kata
lain, membayangkan atau menggambarkan Tuhan dengan bayangan yang diciptakan
oleh manusia sendiri secara visual maupun abstrak adalah tidak pernah benar.
Demikian halnya, maka sehubungan dengan keberadaan alam semesta dengan segala isinya
menurut ajaran agama Budha, adalah diatur oleh sebuah hukum universal yang
berlaku di semua alam kehidupan. Hukum universal ini adalah Dhammaniyama.
Dhammaniyama adalah hukum yang bekerja dengan sendirinya, bekerja sebagai hukum
sesbab akibat atau hukum relativitas yang impersonal dan kekal. Terdapat lima
hukum untuk mengetahui cara kerja hukum universal:
1. Utu Niyama
Adalah hukum universal tentang
energy. Yang mengatur temperatur, cuaca, terbentuk dan hancurnya bumi, tata
surya, dan lain sebagainya.
2. Bija Niyama
Adalah hukum universal yang
berkaitan dengan tumbuh-tumbuhan.
3. Kamma Niyama
Adalah hukum universal tentang
kamma. Kamma disebut juga karma, hukum karma diketahui sebagai hukum perbuatan,
hukum sebab akibat, dan hukum moral.
4. Citta Niyama
Adalah hukum universal tentang
pikiran atau batin. Pikiran manusia adalah luas, aneka ragam dan rumit sekali
untuk diketahui dan dimengerti. Ada makhluk yang memiliki pikiran atau batin
yang lemah, kuat, emosional, dll.
5. Damma Niyama
Adalah hukum universal tentang segala
sesuatu yang tidak diatur oleh keempat niyama tersebut diatas. Misalnya gempa
bumi, hujan, panas, dan dingin yang terjadi pada waktu kelahiran pangeran
sidharta di taman lumbini.
Fungsi
hukum karma :
Agama budha memandang hukum karma sebagai hukum sebab dan
akibat yang bekerja sendiri.sebab yang baik akan mengahasilkan hasil yang baik,
sedangkan sebab yang buruk akan mengahsilkan yang buruk pula. Berdasarkan pada
hukum ini, maka tidak ada manusia, dewa maupun kekuatan mistik yang mencampuri
karma seseorang. Hukum ini bekerja secra adil dengan caranya sendiri. Sebagai
hukum yang impersonal maka tidak ada seorangpun yang dapat merubah hukum ini
sekehendak hatinya.
Fungsi hukum karma
adalah amat rumit dan dalam sekali. Hal ini yang menyebabkan orang yang tidak
sabar, tidak cermat dan kurang pengetahuan salah mengerti tentang cara kerja
hukum karma. Tetapi jika kita sabar dan berusaha mempelajari hukum ini dengan
hati-hati dan cermat, maka kita akan dapat memahami cara kerja hukum karma ini.[20]
Pembagian
Hukum Karma :
s
1. Karma menurut waktu
Dalam hal ini karma dihubungkan
demgan unsure waktu dalam menghasilkan akibatnya, yang terdiri atas empat macam
yaitu:
a. Ditthadhammavedaniya-Kamma adalah
karma yang memberikan akibatnya pada masa kehidupan sekarang ini, apakah karena
kekuatannya yang amat besar atau memang karena sudah tiba saatnya untuk kehidupan sekarang.
b. Uppajjavedaniya-kamma adalah karma
yang akibatnya akan dialami dalam kehidupan setelah hidup sekarang ini. Kamma
ini menggantikan karma “sekarang’’ sejak saat kematian seseorang dan terus
mengahasilkan akibatnya dalam kehidupan yang baru selama tidak ada inetervensi
dari karma lain yang lebih kuat.
c. Aparaparafedaniya-kamma adalah karma
yang akibatnya akan dialami dalam kehidupan berikutnya. Karma macam ini agak
menyerupai karma macam kedua dan paling cepat hanya akan mengahasilkan akibat
dalam masa kehidupan setelah itu. Namun, karma macam ini dikatakan tidak akan
pernah berakhir dan terus mengejar pelakunya tanpa mengenal lelah, tidak akan
pernah berhenti melakukan pengejarannya sampai sang kurban menjadi lelah.
d. Ahosi kamma adalah karma yang tidak
member akibat karena jangka waktunya untuk memberikan akibat telah habis atau
karena karma tersebut telah mengahasilkan akibatnya, atau karena karma tersebut
telah mengahasilkan akibatnya secara penuh sehingga kekuatannya habis sendiri.
2. Karma menurut kekuatan
Dalam hal ini karma dihubungkan
dengan tingkat kekuatannya dalam menghasilkan akibat, terdiri atas empat macam
yaitu :
a. Garu Kamma, adalah karma yang paling
berat diantara semua karma lainnya, dank arena sifatnya yang amat kuat, karma
macam ini masak terlebih dahulu.
b. Bahula Kamma, adalah karma yang
sering dan berulang-ulang dilakukan oleh seseorang melalui saluran badan
jasmani, ucapan, dan pikiran sehingga tertimbun dalam wataknya.
c. Asannamarana-kamma, adalah karma
yang diperbuat oleh sesorang pada saat menjelang kematian, atau dapat pula
perbuatan-perbuatan yang dahulu pernah dilakukan pada masa hidupnya yang ia
ingat kembali dengan amat jelas pada saat ia berada di ambang pintu kematian.
3. Karma menurut fungsi
Disini, karma dihubungkan dengan
peranannya dalam menghasilkan akibat, yang juga terdiri atas empat macam yaitu
:
a. Janaka Kamma (karma penghasilan),
adalah karma yang berfungsi menghasilkan. Tugas kamma ini adalah menyebabkan
kelahiran sesuai dengan macam dan sifatnya. Karma macam ini dapat dibandingkan
dengan seorang ayah ibu dalam fungsinya membawa seorang dalam kelahiran baru.
b. Upatthambhaka kamma (kaum penguat)
adalah karma yang berfungsi membantu memperkuat apa yang telah dihasilkan oleh
janaka kamma sesuai dengan macam dan sifatnya. Jadi apabila janaka kammanya
baik, maka kamma penguat ini membantu sehingga keadaannya lebih baik demikian
pula sebaliknya.
c. Uppapilika kamma (karma pelemah)
adalah karena berfungsi menandingi pengaruh dari apa yang telah dihasilkan oleh
janak kamma, memperlemah kekuatannya atau mempersingkat waktunya dalam
menghasilkan akibatnya.
d. Upaghataka kamma (karma pengahancur)
adalah karma yang mempunyai kategori sama dengan karma pelemah. Karena
fungsinya menentang atau menghancurkan kekuatan dari janaka kamma. Akan tetapi,
karma ini mempunyai kekuatan yang lebih besar daripada karma pelemah.
IV.
DAFTAR PUSTAKA
Widyadharma,
Maha Pandita Sumedha. Dhamma-sari. Jakarta:
Yayasan Kanthaka Kencana. 2004
Dhammananda, Sri. What Buddhists
Believe. Taiwan: The Corporate Body
of the Buddha Educational Foundation. 1993
Nikaya, Digha. Sutta Pitaka. Jakarta:
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha Departemen Agama
Republik Indonesia. 1983
Wowor, Carnelis. Hukum Kamma Buddhis.
Jakarta: CV. Nitra Kencana Buana. 2004
Panjika, Rampaian Dhamma. Jakarta:
DPP Persaudaraan Vihara Theravada Umat Buddha Indonesia (PERVITUBI). 2004.
Ali, Mukti. Agama-agama
di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press. 1988
[1] K.
Sri Dhammananda, What Buddhists Believe. Taiwan: The Corporate Body of the Buddha Educational
Foundation. 1993, h. 62
[2]
Digha Nikaya, Sutta Pitaka. Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Hindu dan Budha Departemen Agama Republik Indonesia. 1983, h. 4
[3] Ibid;
h. 5
[4] Ibid;
h. 5
[5]
Mukti Ali, Agama-agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga
Press. 1988, h. 112
[6]
Digha Nikaya, Sutta Pitaka. Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Hindu dan Budha Departemen Agama Republik Indonesia. 1983, h. 7
[7]
Mukti Ali, h. 112
[8] K.
Sri Dhammananda, What Buddhists Believe. Taiwan: The Corporate Body of the Buddha Educational
Foundation. 1993, h. 64
[9] http://id.wikipedia.org/wiki/Vinaya_Pitaka#Sutta_Vibhanga
[10] Ibid;
h. 64
[11]
Panjika, Rampaian Dhamma. Jakarta: DPP Persaudaraan Vihara Theravada
Umat Buddha Indonesia (PERVITUBI). 2004, h. 5 Cet. II
[12] Ibid;
h. 6
[13] Ibid;
h. 6
[14] Ibid;
h. 6
[15]
K. Sri Dhammananda, What Buddhists Believe. Taiwan: The Corporate Body of the Buddha Educational
Foundation. 1993, h. 65
[16] Ibid;
h. 6-7
[17] Panjika,
Rampaian Dhamma. Jakarta: DPP Persaudaraan Vihara Theravada Umat Buddha
Indonesia (PERVITUBI). 2004, h. 27 Cet. II
[18] Ibid;
h. 27
[19]
Carnelis Wowor, MA. Hukum Kamma Buddhis. Jakarta: CV. Nitra Kencana
Buana. 2004, h. 1
[20][20]
Ibid; h. 4-5
0 komentar:
Posting Komentar