Rabu, 23 Mei 2012

TILAKHANA, PATICCA-SAMUPPADA, TUMIMBAL LAHIR, NIBBANA



I.                   PENDAHULUAN
Keinginan yang tak terpuaskan akan keberadaan dan kenikmatan inderawi adalah sebab tumimbal lahir. Umat Buddha menganggap bahwa doktrin tumimbal lahir tidak hanya semata-mata teori, akan tetapi sebagai kenyataan yang dapat dibuktikan.
Para penganut agama Buddha memfokuskan perhatiannya tentang etika pada Delapan Kesunyataan Mulia atau delapan jalan yang diambil dari dunia penderitaan menuju ke dunia nirvana. Dunia nirvana atau nirwana adalah dunia yang didamba-dambakan oleh setiap penganut agama Buddha. Amalan dan perbuatan apa saja yang mereka lakukan di dunia ini selalu mengacu pada dunia nirwana.

II.                TILAKHANA
Tilakhana atau tiga corak umum ini adalah menjadi dasar ajaran agama Buddha[1], yang terdiri dari:
1.      ANICCA (ketidak-kekalan).
Alam semesta ini mengalami banyak perubahan yang tidak ada putus-putusnya. Tidak ada satupun yang tetap sama untuk selama satu saat yang berturut-turut. Realitas alam semesta ini bukanlah merupakan suatu kolam yang tenang, akan tetapi merupakan suatu arus/aliran yang mengalir deras.
Tidak ada suatu makhluk yang tetap, tetapi yang ada hanyalah segala sesuatu yang timbul dan tenggelam.
Sejak saat permulaan terbentuknya sesuatu, kehancuran telah membayanginya dan dapat dipastikan bahwa suatu saat akan hancur kembali tidak berbekas. Rumah yang baru akan menjadi tua dari hari-kehari, sampai pada suatu saat dirobohkan dan tidak ada lagi bekas-bekasnya yang tertinggal. Setiap denyutan jantung membawa kita lebih dekat kepada kematian.
Ketidak-kekalan yang diajarkan dalam agama Buddha ini bukanlah suatu yang direka-reka atau yang dibuat-buat, akan tetapi merupakan kenyataan, fakta, yang dirasakan dan dialami dengan jelas sekali dalam kehidupan kita sehari-hari.

2.      DUKKHA (derita jasmani-rohani).
Kata dukkha terdiri dari DU dan SUKAR dan KHA, yang artinya “menanggung/memikul, maka dari itu dukkha berarti “memikul sukar atau “menanggung sukar”. Sering kali kata dukkha diterjemahkan dengan “derita”.
Ajaran agama Buddha bukan tidak mengakui adanya “kebahagiaan” atau “Sukha”, karena yang dinamakan kebahagiaan oleh orang pada umumnya adalah tidak kekal, akan berubah menjadi Dukkha.
Didalam kitab Majjhima-Nikaya 82 : Ratthapala-Sutta, terdapat empat kalimat yang mencerminkan makna Dukkha, yaitu:
a.       Kehidupan dalam alam manapun juga adalah tidak kokoh/kuat, dan akan tersapu habis (Upaniyati loko addhuvo’ti).
Maksudnya ialah: tubuh manusia muncul, berkembang, kemudian menjadi lapuk dan akhirnya mati. Derita hari tua dan derita kematian, tidak ada satu makhluk pun yang bisa lolos dari proses ini.
b.      Kehidupan dalam alam manapun juga tidak memiliki pernaungan dan tidak ada perlindungan (Attana loko anabhissaro’ti).
Maksudnya ialah: tidak adanya jaminan dan perlindungan terhadap penyakit, melemahnya tubuh, susah hati, kesedihan dan ratap tangis. Singkatnya ialah tidak ada jaminan terhadap derita tubuh/lahir dan derita bathin.
c.       Kehidupan dalam alam manapun juga adalah tidak memiliki suatu apapun dan segala sesuatunya akan ditinggalkan serta kehidupan berlangsung terus (Assako loko, sabbang pahaya gamani yan’ti).
Maksudnya ialah: segala sesuatu yang sangat dicintai dan disukai, seperti sanak-keluarga, sahabat-sahabat, harta-benda akan ditinggalkan setelah tubuh ini mati; sedangkan kehidupan berlangsung terus dengan mencari bentuk lain.
Setelah tubuh yang lama mati, akan muncul tubuh baru, itulah yang disebut tumimbal-lahir.
d.      Kehidupan dalam alam manapun juga adalah tidak lengkap, tidak terpuaskan dan diperbudak oleh hawa nafsu.
maksudnya ialah: segala sesuatu yang dianggap nikmat, merangsang, menyenangkan dan memperkuat hawa nafsu, adalah bila semakin dituruti, maka akan semakin keras cengkeramannya itu.
Maka kebahagiaan itu tidak lengkap dan hawa nafsu tidak terpuaskan. Akibatnya yaitu kekecawaan, kesedihan, putus-asa, kebencian, permusuhan, perkelahian, pembunuhan dan peperangan. Kesemua ini yang ditimbulkan oleh hawa nafsu yang tidak mereda (Tanha).

3.      ANATTA (tidak ada inti yang kekal (tanpa aku) ).
Rohani (Nama) adalah tidak kekal, karena muncul, berubah, lenyap diluar kemauan kita. Demikian pula Jasmani (Rupa) itupun tidak kekal, karena muncul, berubah, lenyap diluar kemauan kita.
Tidak dapat kita mengatakan, Jasmani-ku harus begini atau jangan begitu. Jasmani Rohani tidak dapat dikuasai oleh siapapun juga. Karena tanpa  pemilik atau tanpa majikan dan berubah-ubah diluar kemauan kita.
Hal ini dapat diperbandingkan dengan persamaan ini: “misalnya ada seseorang yang mempunyai sebuah rumah, disewakan kepada orang lain. Si penyewa dapat menyewakannya lagi atau mengoperkannya lagi hak sewanya kepada orang lain yang memerlukan, tanpa sipemilik rumah bisa berbuat suatu apapun juga”.
Segala sesuatu di alam semesta ini tiada satupun yang dapat disebut : kepunyaan-ku; aku; diriku”, maka itu segala sesuatu di alam semesta ini, harus dipandang:
“semua yang bersyarat dan yang tidak bersyarat adalah tanpa diri yang kekal dan terpisah”.
Sebagai definisi, anatta adalah semua yang bersyarat dan yang tidak bersyarat dapat dipandang tanpa diri yang kekal,  karena:
1.      Asing (bukaan kepunyaan kita)
2.      Hampa
3.      Kosong
4.      Tanpa inti
5.      Tanpa pemilik
6.      Tanpa majikan
7.      Tanpa siapapun yang dapat menguasainya
Haruslah diingat benar-benar bahwa semua perubahan terjadi diluar kemampuan kita dan tanpa dapat kita mencegahnya, maka itu, Nama-Rupa (Jasmani-Rohani) disebut tanpa pemilik, tanpa majikan dan tanpa siapapun yang dapat menguasainya.

III.             PATICCA SAMUPPADA atau POKOK PERMULAAN SEBAB AKIBAT YANG SALING BERGANTUNGAN.
            Setiap kejadian selalu bergantungan pada kejadian lain yang mendahuluinya; dan selalu menimbulkan kejadian lain yang mengikutinya. Bagaikan sebuah gelombang yang berasal dari gelombang yang mendahuluinya, dan menimbulkan gelombang yang mengikutinya, demikianlah pula arus sebab akibat (rangkain kejadian) ini mengalir terus tidak henti-hentinya.[2]
            Segala sesuatu yang terdapat dialam semesta ini dapat dikembalikan kedalam rangkaian sebab akibat seperti diatas. Tak sesuatu yang timbul tanpa bergantungan kepada sebab yang mendahuluinya; dan tidak ada sesuatu yang timbul tanpa menimbulkan akibat yang mengikutinya. Apabila sesuatu berhenti (padam), maka berhenti pula rangkaian kejadian yang mengikutinya.
            Oleh karena itu PATICCA SAMUPADA dapat dirumuskan sebagai berikut: “bergantung kepada ini, maka timbullah itu; dengan tidak adanya ini, maka itu pun tidak ada”. Tak dapat dipikirkan asal mula sebab pertama dari arus sebab akibat ini; dan arus ini akan berlangsung terus selama masih ada syarat-syarat atau sebab-sebab yang menggerakannya. Demikianlah pula “tak dapat dipikirkan” asal mula atau sebab pertama dari rangkaian bentuk-bentuk kehidupan yang merupakan dukkha ini; dan rangkaian bentuk-bentuk kehidupan ini akan berlangsung terus selama masih ada syarat-syarat atau sebab-sebab yang menggerakannya yakni Tanha yang bertalian dengan Avijja.
Bhava menimbulkan jati; jati menimbulkan Jaramarana. Dengan berhentinya Tanha berhenti pula Upadana; dengan berhentinya Upadana berhenti pula Bhava, dengan berhenti Bhava berhenti pula Jati, dengan berhenti Jati berhenti pula Jaramarana, maka tercapailah Nibbana.
Dibawah ini akan dijelaskan tentang 12 mata rantai (Nidana) dan makna dari setiap Nidana sebagi berikut[3]:
1.      AVIJJA artinya KETIDAK-TAHUAN.
Karena tidak menyelami empat kesunyataan, maka orang terus berpegangan pada kepercayaan tentang adanya atta (keuntungan) yang kekal dan terpisah. Karena ketidak-tahuan itulah orang melakukan rupa-rupa kamma, hingga bertumimbal lahir terus menerus.

2.      SANKHARA artinya BENTUK_BENTUK KAMMA.
  Yang dinamakan bentuk-bentuk kamma, ialah kehendak yang tercetus dalam pikiran, ucapan dan badan.
3.      VINNANA artinya KESADARAN.
Dengan kesadaran dimaksud hanya yang merupakan buah/akibat dari bentuk-bentuk kamma pada kehidupan yang lampau. Kesadaran ini disebut patisandhi-vinnana atau kesadaran yang menyambung kembali kehidupan.
4.      NAMA-RUPA artinya ROHANI-JASMANI.
Ini yang merupakan buah/akibat dari bentuk-bentuk kamma kehidupan yang lampau. Nama rupa terdiri dari: rupakhandha, vedanakkhandha, sannakkhandha, sankharakkandha dan vinnanakkahdha.
5.       SALAYATANA artinya ENAM LANDASAN INDRIYA.
Ini juga merupakan buah/akibat dari bentuk-bentuk kamma kehidupan lampau. Enam landasan indriya ini muncul berbarengan dan bersamaan dengan nama-rupa. Salayatana ini terdiri dari: cakkhudhatu, ialah landasan (unsur) mata, sotadhatu ialah landasan (unsur) telinga, ghanadhatu ialah landasan (unsur) hidung, jivhadhatu ialah landasan (unsur) lidah, kayadhatu ialah landasan (unsur) tubuh, dan manodhatu ialah landasan (unsur) pikiran.

6.      PHASSA artinya KONTAK/KESAN_KESAN.
Ini yang berasal dari ke-enam landasan indriya beserta objeknya masing-masing.

7.      VEDANA artinya PERASAAN.
Ialah perasaan yang muncul dari kesan-kesan indriya yang berhubungan dengan objeknya.

8.      TANHA artinya KEINGINAN/KEHAUSAN/KERINDUAN.
Keinginan yang tiada habis-habisnya, mencari kesenangan sepuas-puasnya kesana-sini. Ada tiga macam tanha ialah:
                                              I.            Kamatanha = kehausan akan kesenangan indriya.
                                           II.            Bhavatanha = kehausan untuk menjelma, berdasarkan kepercayaan tentang adanya atta yang kekal dan terpisah.
                                        III.            Vibhavatanha = kehausan untuk memuaskan diri, berdasarkan kepercayaan bahwa setelah mati tamatlah riwayatnya setiap manusia.
Bhavatanha adalah yang dianut oleh kaum Titthia, dan Vibhavatanha dianut oleh kaum carvaka.
9.      UPADANA artinya IKATAN/KEMELEKATAN.
Kemelekatan ini terdiri dari :
v  Kamupadana = kemelekatan pada kesenangan indriya.
v  Ditthupadana = kemelekatan pada pandangan salah (dianut oleh kaum carvaka/titthia).
v  Silabbanupadana = kemelekatan pada upacara-upacara, ialah kepercayaan bahwa dengan upacara dapat menghasilkan kesucian dan pembebasan derita untuk selama-lamanya (dianut oleh kaum Berahmana).
v  Atthavadupadana = kemelekatan pada kepercayaan tentang adanya atta yang kekal dan terpisah.

10.  BHAVA artinya ARUS PENJELEMAN.
Yang menentukan penitisan-penitisan di alam-alam keinginan, seperti alam manusia, alam-alam surga rendah, dan alam-alam apaya serta alam-alam luhur, sesuai dengan kamma masing-masing.
11.   JATI artinya KELAHIRAN.
Ialah munculnya namakkhandha dan ruphakandha, yang seluruhnya terdiri dari lima kelompok kehidupan.
12.   JARAMARANA artinya KELAPUKAN, HARI TUA, KEMATIAN.
Dengan singkat Rantai-Derita (Nidana) ini, ialah kelahiran, susah hati, ratap tangis, sakit, kesedihan, putus asa, mati dan sebagainya.

Kesimpulan :
Dari hukum Paticca Samuppada dapat simpulkan bahwa :
1)      Hidup merupakan proses yang tiada putus-putusnya dari bentuk-bentuk Nama dan Rupa.
2)      Yang turun kedalam kandungan Ibu ialah Vinnana, yang dimaksud disini yaitu pati-sandhi-vinnana dan bukan roh atau nyawa yang kekal.
3)      Nama-Rupa dan Salayatana muncul berbarengan dan bersamaan pada saat kelahiran.

                                                   IV.            TUMIMBAL-LAHIR

Ajaran mengenai tumimbal-lahir sangat erat hubungannya dengan Hukum Karma. Ajaran tumumbal-lahir dalam agama Buddha membuktikan adanya kehidupan makhluk yang berulang-ulang.[4]
Tumimbal-lahir (patisandhi/punabbava)  bukan berarti pemindahan atau penjelmaan. Dalam agama Buddha tidak dikenal pemindahan atau penjelmaann dari nama (bathin/jiwa) setelah seseorang meninggal dunia. Akan tetapi dikenal dengan istilah “penerusan” dari nama (bathin/jiwa), disebut sebagai Patisandhi-vinnana.
Ketika seseorang akan meninggal dunia, kesadaran-ajal (cuti-citta) mendekati kepadaman dan didorong oleh kekuatan-kekuatan kamma. Kemudian, kesadaran-ajal (cuti-citta) padam dan langsung menimbulkan kesadaran-penerusan (patisandhi-vinnana) untuk timbul pada salah satu dari 31 Alam Kehidupan (Bhumi 31) sesuai dengan karmanya. Hal ini secara umum disebut pula suatu permulaan dari bentuk kehidupan baru.
Ada 4 cara tumimbal-lahirnya makhluk-makhluk[5], yaitu:
1.      Jajabuja-Yoni   : Makhluk yang lahir dari kandungan, seperti


                           manusia, kuda, kerbau dan lain-lain.
2.      Andaja-Yoni    : Makhluk yang lahir dari telur, seperti burung,
                           ayam, bebek, dan lain-lain.
3.      Sansedaja-Yoni: Makhluk yang lahir dari kelembaban, seperti
                            nyamuk.
4.      Opapatika-Yoni : makhluk yang lahir secara spontan, langsung
                            membesar, seperti para dewa, brahma, makhluk
                            neraka dan lain-lain.

                                                      V.            NIBBANA

Dua aspek nibbana

Nibbana adalah sebutan bahasa Pali dan Nirvana adalah bahasa sangskerta. Kata Nibbana berasal dari kata Nirvana, yang terbagi atas dua kata yaitu: NIR artinya Padam dan VANA dari akar kata VA artinya Meniup. Jadi kata Nibana artinya Meniup Padam, dan apakah yang ditiup menjadi padam? Yang padam ditiup adalah tidak lain Tanha atau Tanhakkaya atau Asavakkaya (nafsu keinginan).
Nibbana adalah kebahagiaan tertinggi, suatu keadaan kebahagiaan abadi yang luar biasa. Kebahagiaan ini tidak dapat dialami dengan memanjakan indera, tetapi dengan menenangkannya. Nibbana adalah tujuan akhir ajaran agama Buddha.
Nibbana dapat dicapai dalam hidup sekarang atau dapat pula dicapai setelah mati. Nibbana yang dicapai semasa hidup didalam dunia ini, masih mengandung sisa-sisa kelompok kehidupan yang masih ada (sa-upadisesa nibbana), seperti yang dicapai oleh YMS Budha Gotama didalam kehidupannya didunia ini. Meskipun batin Beliau bersih dari lobha, dosa dan moha, sebelum menjadi Budha, beliau dilahirkan sebagai Siddharta Gotama, maka beliau masih dapat wafat. Hal ini sesuai dengan azas-ajaran Anicca yang berbunyi: “SABBE SANKHARA ANICCA” yang berarti semua yang dilahirkan karena syarat-syarat akan berubah adalah tidak kekal. Demikian pula halnya dengan Siddharta Gotama, yang terlahir sebagai putera raja Sudhodana,  akhirnya wafat meskipun Beliau telah menjadi Budha dan telah mencapai Nibbana dalam kehidupannya. Inilah yang dimaksud dengan Nibbana yang dicapai masih mengandung sisa-sisa kelima kelompok kehidupan yang masih ada.[6]
Kemudian setelah YMS Budha Gotama wafat, maka Beliau telah mencapai Nibbana yang tidak lagi mengandung sisa-sisa kelima kelompok kehidupan (an-upadisesa-nibbana). Beliau telah bebas dari kelahiran, penderitaan, umur tua dan kematian dan telah hidup dalam kebahagiaan yang kekal dan abadi.
            Jadi Nibbana atau Nirvana itu dibagi dua bagian yaitu:
1.      Nibbana yang masih mengandung sisa-sisa kelima kelompok kehidupan yang masih ada dan ini dicapai dalam kehidupan di dunia ini atau dalam kata Pali disebut SA UPADISESA NIBBANA.
2.      Nibbana yang tidak mengandung sisa-sisa kelima kelompok kehidupan, yang dicapai setelah meninggal dunia atau dalam kata Pali disebut AN UPADISESA NIBBANA.
Mereka yang mencapai kebahagiaan nibbana dapat mengalaminya selama sisa-sisa keberadaan mereka sebagai manusia. Setelah kematian, hubungan dengan unsur-unsur tersebut akan luruh, karena alasan yang sederhana bahwa nibbana tidak terkondisi, tidak relatif, atau tidak saling ketergantungan. Jadi tiada lain bahwa nibbana adalah “kebenaran mutlak”.[7]
Pada saat mencapai nibbana segala sesuatu tidak dilahirkan, tidak ada asal mulanya. Tidak terbentuk, tidak diciptakan. Karena itu bilamana disana tidak ada sesuatu yang dilahirkan, tidak ada asal mulanya, karena itu tentu tidak perlu dan tidak mungkin menghindari kelahiran, asal mula dan bentuk pencipta. Karena tidak ada lagi bentuk, dan tidak ada lagi sesuatu yang diciptakan, maka tidak perlu dan tidak mungkin lagi menghindari kelahiran, asal mula dan bentuk pencipta.
Seseorang harus belajar untuk tidak melekat dari semua hal keduniawian. Jika ada kemelekatan terhadap seseorang atau sesuatu atau jika ada keengganan terhadap seseorang atau sesuatu, seseorang tidak akan pernah mencapai nibbana karena nibbana melampaui semua kemelekatan dan keengganan. Suka dan tidak suka.
Saat keadaan tertinggi itu tercapai, seseorang akan memahami sepenuhnya hidup keduniawian yang sekarang ini. Dengan tergantung pada guru atau kitab suci tanpa usaha kita sendiri dengan cara yang benar, sukar untuk memperoleh penyadaran nibbana. Mimpi akan buyar, badai akan berlalu. Perjuangan hidup akan usai. Proses alam akan berhenti. Semua kecemasan, kesengsaraan, gangguan, beban, penyakit fisik dan mental, dan emosi akan berakhir setelah mencapai keadaan kebahagiaan nibbana ini.
Tetapi Nibbana itu harus dicapai dengan melaksanakan Delapan Ruas Jalan Utama.
JALAN UNTUK MENCAPAI NIBBANA
1.      Delapan Ruas Jalan Utama/Jalan Tengah
Bodhisattva pangeran Siddhartha Gotama, melalui pengalaman-pengalamannya sendiri telah menemukan Jalan Tengah yang telah menghasilkan pandangan dan pengetahuan yang membwa Beliau ke ketenangan, pengertian benar, kesadaran Agung dan Nibbana.
            Pada hakekatnya seluruh ajaran YMS Budha Gotama, yang disiarkannya sendiri untuk 45 tahun lamanya, dalam satu dan lain cara ada hubungannya dengan Jalan ini. Beliau telah menerangkan dalam berbagai cara, dengan memakai aneka perkatan kepada bermacam-macam orang, sesuai dengan tingkatan pengetahuan masing-masing dan kesanggupan mereka untuk mengerti dalam mengikuti beliau.
            Sari dari ribuan sutta dalam kitab suci agama Budha adalah mengenai Delapan Ruas Jalan Utama. Sangat diharapkan sekali jangan sampai disalah tafsirkan, bahwa Ruas Jalan (Magganga) ini harus dilaksanakan menurut nomor urutan dari susunan yang kesatu sampai kedelapan. Tetapi sedikit banyaknya harus dipertimbangkan bersama-sama, tentu saja tergantung dengan keadaan dan kesanggupan tiap-tiap orang. Karena ruas-ruas jalan itu sebenarnya satu sama lain saling bergentungan dan salaing bantu-membantu.
            Maka Delapan Ruas Jalan Utama atau Jalan Tengah itu lazim dibagi dalam tiga golongan yang lebih besar, yaitu:
a.       Sila         = tata hidup yang susila dan beradab.
b.      Samadhi = pembinaan disiplin mental.
c.       Panna     = kebijaksanaan-kebijaksanaan luhur.
Demikianlah satu-satunya jalan untuk mencapai Nibbana, yang demikian sederhana, tetapi mempunyai nilai untuk memberikan kepuasan kepada emosi emosi keagamaan.
2.       Yang lenyap di Nibbana
Orang yang telah mencapai Nibbana dapat disebut “orang yang sempurna”, seperti YMS Budha Gotama, orang yang telah sempurna membuang semua ikatan, semua ikatan terhadap badan jasmaninya, perasaannya, penserapannya, bentuk-bentuk pikirannya dan kesadarannya sampai ke akar-akarnya dan selanjutnya tidak dilahirkan kembali kedalam kehidupan. Sekarang orang sempurna setelah wafat, telah bebas dari ikatan badan jasmaninya, perasaannya, bentuk pikirannya dan kesadarannya. Orang yang sempurna hanya dapat dilihat oleh orang yang telah melihat Dhamma, dan siapa yang melihat orang sempurna, Ia melihat Dhama. Demikianlah orang yang sempurna merupakan badannya Dhamma dan bersatu dengan Sanghyang Adi Buddha.
3.      Orang Yang Telah Mencapai Nibbana Bebas dari Lahir, derita, Umur Tua dan mati; lobha, dan dosa moha.
Tiada lagi penderitaan bagi mereka yang telah mencapai Nibbana, yang telah terbebas dari penderitaan, yang telah membebaskan diri dari segala ikatan nafsu, yang telah memutuskan semua ikatan. Orang yang sempurna, sikapnya toleran, seperti tanah, seperti ambang pintu yang menjalankan tugasnya, yang bagaikan danau yang idak berlumpur; manusia yang demikian tidak lagi terikat oleng lingkaran tumimbal lahir dan kematian.
Pikirannya tenang, tutur kata dan perbuatannya senantiasa dilakukan dengan tenang setelah Ia mencapai kebebasan melalui pengetahuan sejati dan menjadi tenang serta seimbang. Orang sempurna telah bebas dari ke tahyulan. Ia mengetahui yang tak diciptakan. Yang telah memutuskan semua ikatan yang telah mengakhiri atau tak membuat lagi kamma-kamma baru, yang baik maupun yang buruk, yang telah mengenyahkan semua napsu keinginan. Dialah manusia yang paling luhur. Suci dari segala manusia.      
Dimana saja bersemayam orang suci, tempat itu pasti sangat menyenangkan, baik di kota, di kampung maupun di dalam hutan, dilaut maupun di darat. Cita-cita semua umat Buddha, pertama-tama ialah untuk mencapai tingkat kesucian, untuk menjadi manusia suci atau Arahat, atau menjadi Bodhisattva untuk mencapai tingkat ke-Buddha-an dan Nibbana.

KESIMPULAN

              Tilakhana atau tiga corak umum ini adalah menjadi dasar ajaran agama Buddha:
1.      ANICCA (ketidak-kekalan).
2.      DUKKHA (derita jasmani-rohani).
3.      ANATTA (tidak ada inti yang kekal (tanpa aku) ).
Paticca Samuppada atau pokok permulaan sebab akibat yang saling bergantungan.
    Setiap kejadian selalu bergantungan pada kejadian lain yang mendahuluinya; dan selalu menimbulkan kejadian lain yang mengikutinya.
Ajaran mengenai tumimbal-lahir sangat erat hubungannya dengan Hukum Karma. Ajaran tumumbal-lahir dalam agama Buddha membuktikan adanya kehidupan makhluk yang berulang-ulang.
Nibbana adalah kebahagiaan tertinggi, suatu keadaan kebahagiaan abadi yang luar biasa. Kebahagiaan ini tidak dapat dialami dengan memanjakan indera, tetapi dengan menenangkannya. Nibbana adalah tujuan akhir ajaran agama Buddha.


DAFTAR PUSTAKA
Dhammananda, Sri. “Keyakinan Umat Buddha”. Pustaka Kanariya, 2007.
Kaharuddin, Pandit Jiratana. “Rampaian Dhamma”. Cet I 2000, Cet II 2004.
MS.Sumantri, “Kebahagiaan Dalam Dhamma”. 1980.


[1] M.u. Sumantri. MS. Kebahagiaan Dalam Dhamma. Hal. 74-79
[2] Ibid. hal. 88-89
[3] Pandit Jinaratana Kaharuddin. Rampaian Dhamma. Hal. 61-65
[4] Pandit Jinaratana Kaharuddin. Rampaian Dhamma. Hal. 45.
[5] M.U. Sumantri. MS. Kebahagiaan Dalam Dhamma. Hal. 72.
[6] M.U. Sumantri. MS. Kebahagiaan Dalam Dhamma. Hal. 134.
[7] Sri dhammananda. Keyakinan Umat Buddha. Hal. 155.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More