I.
PENDAHULUAN
Keinginan
yang tak terpuaskan akan keberadaan dan kenikmatan inderawi adalah sebab
tumimbal lahir. Umat Buddha menganggap bahwa doktrin tumimbal lahir tidak hanya
semata-mata teori, akan tetapi sebagai kenyataan yang dapat dibuktikan.
Para
penganut agama Buddha memfokuskan perhatiannya tentang etika pada Delapan
Kesunyataan Mulia atau delapan jalan yang diambil dari dunia penderitaan menuju
ke dunia nirvana. Dunia nirvana atau nirwana adalah dunia yang didamba-dambakan
oleh setiap penganut agama Buddha. Amalan dan perbuatan apa saja yang mereka
lakukan di dunia ini selalu mengacu pada dunia nirwana.
II.
TILAKHANA
Tilakhana
atau tiga corak umum ini adalah menjadi dasar ajaran agama Buddha[1],
yang terdiri dari:
1. ANICCA
(ketidak-kekalan).
Alam semesta ini mengalami banyak perubahan yang
tidak ada putus-putusnya. Tidak ada satupun yang tetap sama untuk selama satu
saat yang berturut-turut. Realitas alam semesta ini bukanlah merupakan suatu
kolam yang tenang, akan tetapi merupakan suatu arus/aliran yang mengalir deras.
Tidak ada suatu makhluk yang tetap, tetapi yang ada
hanyalah segala sesuatu yang timbul dan tenggelam.
Sejak
saat permulaan terbentuknya sesuatu, kehancuran telah membayanginya dan dapat
dipastikan bahwa suatu saat akan hancur kembali tidak berbekas. Rumah yang baru
akan menjadi tua dari hari-kehari, sampai pada suatu saat dirobohkan dan tidak
ada lagi bekas-bekasnya yang tertinggal. Setiap denyutan jantung membawa kita
lebih dekat kepada kematian.
Ketidak-kekalan yang diajarkan dalam agama Buddha
ini bukanlah suatu yang direka-reka atau yang dibuat-buat, akan tetapi
merupakan kenyataan, fakta, yang dirasakan dan dialami dengan jelas sekali
dalam kehidupan kita sehari-hari.
2. DUKKHA
(derita jasmani-rohani).
Kata dukkha terdiri dari DU dan SUKAR dan KHA, yang
artinya “menanggung/memikul, maka dari itu dukkha berarti “memikul sukar atau “menanggung
sukar”. Sering kali kata dukkha diterjemahkan dengan “derita”.
Ajaran agama Buddha bukan tidak mengakui adanya
“kebahagiaan” atau “Sukha”, karena yang dinamakan kebahagiaan oleh orang pada
umumnya adalah tidak kekal, akan berubah menjadi Dukkha.
Didalam kitab Majjhima-Nikaya 82 : Ratthapala-Sutta,
terdapat empat kalimat yang mencerminkan makna Dukkha, yaitu:
a. Kehidupan
dalam alam manapun juga adalah tidak kokoh/kuat, dan akan tersapu habis
(Upaniyati loko addhuvo’ti).
Maksudnya ialah: tubuh manusia
muncul, berkembang, kemudian menjadi lapuk dan akhirnya mati. Derita hari tua
dan derita kematian, tidak ada satu makhluk pun yang bisa lolos dari proses
ini.
b. Kehidupan
dalam alam manapun juga tidak memiliki pernaungan dan tidak ada perlindungan (Attana
loko anabhissaro’ti).
Maksudnya ialah: tidak
adanya jaminan dan perlindungan terhadap penyakit, melemahnya tubuh, susah
hati, kesedihan dan ratap tangis. Singkatnya ialah tidak ada jaminan terhadap
derita tubuh/lahir dan derita bathin.
c. Kehidupan
dalam alam manapun juga adalah tidak memiliki suatu apapun dan segala
sesuatunya akan ditinggalkan serta kehidupan berlangsung terus (Assako loko,
sabbang pahaya gamani yan’ti).
Maksudnya ialah: segala
sesuatu yang sangat dicintai dan disukai, seperti sanak-keluarga,
sahabat-sahabat, harta-benda akan ditinggalkan setelah tubuh ini mati;
sedangkan kehidupan berlangsung terus dengan mencari bentuk lain.
Setelah tubuh yang lama
mati, akan muncul tubuh baru, itulah yang disebut tumimbal-lahir.
d. Kehidupan
dalam alam manapun juga adalah tidak lengkap, tidak terpuaskan dan diperbudak
oleh hawa nafsu.
maksudnya ialah: segala
sesuatu yang dianggap nikmat, merangsang, menyenangkan dan memperkuat hawa
nafsu, adalah bila semakin dituruti, maka akan semakin keras cengkeramannya
itu.
Maka kebahagiaan itu
tidak lengkap dan hawa nafsu tidak terpuaskan. Akibatnya yaitu kekecawaan,
kesedihan, putus-asa, kebencian, permusuhan, perkelahian, pembunuhan dan
peperangan. Kesemua ini yang ditimbulkan oleh hawa nafsu yang tidak mereda (Tanha).
3. ANATTA
(tidak ada inti yang kekal (tanpa aku) ).
Rohani (Nama) adalah tidak kekal, karena muncul,
berubah, lenyap diluar kemauan kita. Demikian pula Jasmani (Rupa) itupun tidak
kekal, karena muncul, berubah, lenyap diluar kemauan kita.
Tidak dapat kita mengatakan, Jasmani-ku harus begini
atau jangan begitu. Jasmani Rohani tidak dapat dikuasai oleh siapapun juga.
Karena tanpa pemilik atau tanpa majikan
dan berubah-ubah diluar kemauan kita.
Hal
ini dapat diperbandingkan dengan persamaan ini: “misalnya ada seseorang yang
mempunyai sebuah rumah, disewakan kepada orang lain. Si penyewa dapat
menyewakannya lagi atau mengoperkannya lagi hak sewanya kepada orang lain yang
memerlukan, tanpa sipemilik rumah bisa berbuat suatu apapun juga”.
Segala sesuatu di alam semesta ini tiada satupun
yang dapat disebut : kepunyaan-ku; aku; diriku”, maka itu segala sesuatu di
alam semesta ini, harus dipandang:
“semua
yang bersyarat dan yang tidak bersyarat adalah tanpa diri yang kekal dan
terpisah”.
Sebagai definisi, anatta adalah semua yang bersyarat
dan yang tidak bersyarat dapat dipandang tanpa diri yang kekal, karena:
1. Asing
(bukaan kepunyaan kita)
2. Hampa
3. Kosong
4. Tanpa
inti
5. Tanpa
pemilik
6. Tanpa
majikan
7. Tanpa
siapapun yang dapat menguasainya
Haruslah
diingat benar-benar bahwa semua perubahan terjadi diluar kemampuan kita dan
tanpa dapat kita mencegahnya, maka itu, Nama-Rupa (Jasmani-Rohani) disebut
tanpa pemilik, tanpa majikan dan tanpa siapapun yang dapat menguasainya.
III.
PATICCA
SAMUPPADA atau POKOK PERMULAAN SEBAB AKIBAT YANG SALING BERGANTUNGAN.
Setiap kejadian selalu bergantungan
pada kejadian lain yang mendahuluinya; dan selalu menimbulkan kejadian lain
yang mengikutinya. Bagaikan sebuah gelombang yang berasal dari gelombang yang
mendahuluinya, dan menimbulkan gelombang yang mengikutinya, demikianlah pula
arus sebab akibat (rangkain kejadian) ini mengalir terus tidak henti-hentinya.[2]
Segala sesuatu yang terdapat dialam
semesta ini dapat dikembalikan kedalam rangkaian sebab akibat seperti diatas.
Tak sesuatu yang timbul tanpa bergantungan kepada sebab yang mendahuluinya; dan
tidak ada sesuatu yang timbul tanpa menimbulkan akibat yang mengikutinya.
Apabila sesuatu berhenti (padam), maka berhenti pula rangkaian kejadian yang
mengikutinya.
Oleh karena itu PATICCA SAMUPADA
dapat dirumuskan sebagai berikut: “bergantung kepada ini, maka timbullah itu;
dengan tidak adanya ini, maka itu pun tidak ada”. Tak dapat dipikirkan asal
mula sebab pertama dari arus sebab akibat ini; dan arus ini akan berlangsung
terus selama masih ada syarat-syarat atau sebab-sebab yang menggerakannya.
Demikianlah pula “tak dapat dipikirkan” asal mula atau sebab pertama dari
rangkaian bentuk-bentuk kehidupan yang merupakan dukkha ini; dan rangkaian
bentuk-bentuk kehidupan ini akan berlangsung terus selama masih ada
syarat-syarat atau sebab-sebab yang menggerakannya yakni Tanha yang bertalian
dengan Avijja.
Bhava
menimbulkan jati; jati menimbulkan Jaramarana. Dengan berhentinya Tanha
berhenti pula Upadana; dengan berhentinya Upadana berhenti pula Bhava, dengan berhenti
Bhava berhenti pula Jati, dengan berhenti Jati berhenti pula Jaramarana, maka
tercapailah Nibbana.
Dibawah
ini akan dijelaskan tentang 12 mata rantai (Nidana) dan makna dari setiap
Nidana sebagi berikut[3]:
1. AVIJJA
artinya KETIDAK-TAHUAN.
Karena
tidak menyelami empat kesunyataan, maka orang terus berpegangan pada
kepercayaan tentang adanya atta (keuntungan) yang kekal dan terpisah. Karena
ketidak-tahuan itulah orang melakukan rupa-rupa kamma, hingga bertumimbal lahir
terus menerus.
2. SANKHARA
artinya BENTUK_BENTUK KAMMA.
Yang
dinamakan bentuk-bentuk kamma, ialah kehendak yang tercetus dalam pikiran,
ucapan dan badan.
3. VINNANA
artinya KESADARAN.
Dengan
kesadaran dimaksud hanya yang merupakan buah/akibat dari bentuk-bentuk kamma
pada kehidupan yang lampau. Kesadaran ini disebut patisandhi-vinnana atau
kesadaran yang menyambung kembali kehidupan.
4. NAMA-RUPA
artinya ROHANI-JASMANI.
Ini
yang merupakan buah/akibat dari bentuk-bentuk kamma kehidupan yang lampau. Nama
rupa terdiri dari: rupakhandha, vedanakkhandha, sannakkhandha, sankharakkandha
dan vinnanakkahdha.
5. SALAYATANA artinya ENAM LANDASAN INDRIYA.
Ini
juga merupakan buah/akibat dari bentuk-bentuk kamma kehidupan lampau. Enam
landasan indriya ini muncul berbarengan dan bersamaan dengan nama-rupa. Salayatana
ini terdiri dari: cakkhudhatu, ialah landasan (unsur) mata, sotadhatu ialah
landasan (unsur) telinga, ghanadhatu ialah landasan (unsur) hidung, jivhadhatu
ialah landasan (unsur) lidah, kayadhatu ialah landasan (unsur) tubuh, dan
manodhatu ialah landasan (unsur) pikiran.
6. PHASSA
artinya KONTAK/KESAN_KESAN.
Ini
yang berasal dari ke-enam landasan indriya beserta objeknya masing-masing.
7. VEDANA
artinya PERASAAN.
Ialah
perasaan yang muncul dari kesan-kesan indriya yang berhubungan dengan objeknya.
8. TANHA
artinya KEINGINAN/KEHAUSAN/KERINDUAN.
Keinginan yang tiada habis-habisnya, mencari
kesenangan sepuas-puasnya kesana-sini. Ada tiga macam tanha ialah:
I.
Kamatanha =
kehausan akan kesenangan indriya.
II.
Bhavatanha =
kehausan untuk menjelma, berdasarkan kepercayaan tentang adanya atta yang kekal
dan terpisah.
III.
Vibhavatanha =
kehausan untuk memuaskan diri, berdasarkan kepercayaan bahwa setelah mati
tamatlah riwayatnya setiap manusia.
Bhavatanha adalah yang dianut oleh kaum
Titthia, dan Vibhavatanha dianut oleh kaum carvaka.
9. UPADANA
artinya IKATAN/KEMELEKATAN.
Kemelekatan ini terdiri
dari :
v Kamupadana
= kemelekatan pada kesenangan indriya.
v Ditthupadana
= kemelekatan pada pandangan salah (dianut oleh kaum carvaka/titthia).
v Silabbanupadana
= kemelekatan pada upacara-upacara, ialah kepercayaan bahwa dengan upacara
dapat menghasilkan kesucian dan pembebasan derita untuk selama-lamanya (dianut
oleh kaum Berahmana).
v Atthavadupadana
= kemelekatan pada kepercayaan tentang adanya atta yang kekal dan terpisah.
10. BHAVA
artinya ARUS PENJELEMAN.
Yang menentukan penitisan-penitisan di alam-alam
keinginan, seperti alam manusia, alam-alam surga rendah, dan alam-alam apaya
serta alam-alam luhur, sesuai dengan kamma masing-masing.
11. JATI artinya KELAHIRAN.
Ialah
munculnya namakkhandha dan ruphakandha, yang seluruhnya terdiri dari lima
kelompok kehidupan.
12. JARAMARANA artinya KELAPUKAN, HARI TUA,
KEMATIAN.
Dengan
singkat Rantai-Derita (Nidana) ini, ialah kelahiran, susah hati, ratap tangis,
sakit, kesedihan, putus asa, mati dan sebagainya.
Kesimpulan :
Dari hukum Paticca
Samuppada dapat simpulkan bahwa :
1) Hidup
merupakan proses yang tiada putus-putusnya dari bentuk-bentuk Nama dan Rupa.
2) Yang
turun kedalam kandungan Ibu ialah Vinnana, yang dimaksud disini yaitu
pati-sandhi-vinnana dan bukan roh atau nyawa yang kekal.
3) Nama-Rupa
dan Salayatana muncul berbarengan dan bersamaan pada saat kelahiran.
IV.
TUMIMBAL-LAHIR
Ajaran
mengenai tumimbal-lahir sangat erat hubungannya dengan Hukum Karma. Ajaran
tumumbal-lahir dalam agama Buddha membuktikan adanya kehidupan makhluk yang
berulang-ulang.[4]
Tumimbal-lahir
(patisandhi/punabbava) bukan berarti
pemindahan atau penjelmaan. Dalam agama Buddha tidak dikenal pemindahan atau
penjelmaann dari nama (bathin/jiwa) setelah seseorang meninggal dunia. Akan
tetapi dikenal dengan istilah “penerusan” dari nama (bathin/jiwa), disebut
sebagai Patisandhi-vinnana.
Ketika
seseorang akan meninggal dunia, kesadaran-ajal (cuti-citta) mendekati kepadaman
dan didorong oleh kekuatan-kekuatan kamma. Kemudian, kesadaran-ajal (cuti-citta)
padam dan langsung menimbulkan kesadaran-penerusan (patisandhi-vinnana) untuk
timbul pada salah satu dari 31 Alam Kehidupan (Bhumi 31) sesuai dengan
karmanya. Hal ini secara umum disebut pula suatu permulaan dari bentuk kehidupan
baru.
Ada
4 cara tumimbal-lahirnya makhluk-makhluk[5],
yaitu:
1. Jajabuja-Yoni : Makhluk yang lahir dari kandungan, seperti
manusia, kuda, kerbau
dan lain-lain.
2. Andaja-Yoni : Makhluk yang lahir dari telur, seperti burung,
ayam, bebek, dan
lain-lain.
3. Sansedaja-Yoni:
Makhluk yang lahir dari kelembaban, seperti
nyamuk.
4. Opapatika-Yoni
: makhluk yang lahir secara spontan, langsung
membesar, seperti para
dewa, brahma, makhluk
neraka dan
lain-lain.
V.
NIBBANA
Dua aspek nibbana
Nibbana
adalah sebutan bahasa Pali dan Nirvana adalah bahasa sangskerta. Kata Nibbana
berasal dari kata Nirvana, yang terbagi atas dua kata yaitu: NIR artinya Padam dan
VANA dari akar kata VA artinya Meniup. Jadi kata Nibana artinya Meniup Padam,
dan apakah yang ditiup menjadi padam? Yang padam ditiup adalah tidak lain Tanha
atau Tanhakkaya atau Asavakkaya (nafsu keinginan).
Nibbana
adalah kebahagiaan tertinggi, suatu keadaan kebahagiaan abadi yang luar biasa.
Kebahagiaan ini tidak dapat dialami dengan memanjakan indera, tetapi dengan
menenangkannya. Nibbana adalah tujuan akhir ajaran agama Buddha.
Nibbana
dapat dicapai dalam hidup sekarang atau dapat pula dicapai setelah mati.
Nibbana yang dicapai semasa hidup didalam dunia ini, masih mengandung sisa-sisa
kelompok kehidupan yang masih ada (sa-upadisesa nibbana), seperti yang dicapai
oleh YMS Budha Gotama didalam kehidupannya didunia ini. Meskipun batin Beliau
bersih dari lobha, dosa dan moha, sebelum menjadi Budha, beliau dilahirkan
sebagai Siddharta Gotama, maka beliau masih dapat wafat. Hal ini sesuai dengan
azas-ajaran Anicca yang berbunyi: “SABBE SANKHARA ANICCA” yang berarti semua
yang dilahirkan karena syarat-syarat akan berubah adalah tidak kekal. Demikian
pula halnya dengan Siddharta Gotama, yang terlahir sebagai putera raja
Sudhodana, akhirnya wafat meskipun Beliau
telah menjadi Budha dan telah mencapai Nibbana dalam kehidupannya. Inilah yang
dimaksud dengan Nibbana yang dicapai masih mengandung sisa-sisa kelima kelompok
kehidupan yang masih ada.[6]
Kemudian
setelah YMS Budha Gotama wafat, maka Beliau telah mencapai Nibbana yang tidak
lagi mengandung sisa-sisa kelima kelompok kehidupan (an-upadisesa-nibbana).
Beliau telah bebas dari kelahiran, penderitaan, umur tua dan kematian dan telah
hidup dalam kebahagiaan yang kekal dan abadi.
Jadi Nibbana atau Nirvana itu dibagi
dua bagian yaitu:
1. Nibbana
yang masih mengandung sisa-sisa kelima kelompok kehidupan yang masih ada dan
ini dicapai dalam kehidupan di dunia ini atau dalam kata Pali disebut SA
UPADISESA NIBBANA.
2. Nibbana
yang tidak mengandung sisa-sisa kelima kelompok kehidupan, yang dicapai setelah
meninggal dunia atau dalam kata Pali disebut AN UPADISESA NIBBANA.
Mereka
yang mencapai kebahagiaan nibbana dapat mengalaminya selama sisa-sisa
keberadaan mereka sebagai manusia. Setelah kematian, hubungan dengan
unsur-unsur tersebut akan luruh, karena alasan yang sederhana bahwa nibbana
tidak terkondisi, tidak relatif, atau tidak saling ketergantungan. Jadi tiada
lain bahwa nibbana adalah “kebenaran mutlak”.[7]
Pada
saat mencapai nibbana segala sesuatu tidak dilahirkan, tidak ada asal mulanya.
Tidak terbentuk, tidak diciptakan. Karena itu bilamana disana tidak ada sesuatu
yang dilahirkan, tidak ada asal mulanya, karena itu tentu tidak perlu dan tidak
mungkin menghindari kelahiran, asal mula dan bentuk pencipta. Karena tidak ada
lagi bentuk, dan tidak ada lagi sesuatu yang diciptakan, maka tidak perlu dan
tidak mungkin lagi menghindari kelahiran, asal mula dan bentuk pencipta.
Seseorang
harus belajar untuk tidak melekat dari semua hal keduniawian. Jika ada
kemelekatan terhadap seseorang atau sesuatu atau jika ada keengganan terhadap
seseorang atau sesuatu, seseorang tidak akan pernah mencapai nibbana karena
nibbana melampaui semua kemelekatan dan keengganan. Suka dan tidak suka.
Saat
keadaan tertinggi itu tercapai, seseorang akan memahami sepenuhnya hidup
keduniawian yang sekarang ini. Dengan tergantung pada guru atau kitab suci
tanpa usaha kita sendiri dengan cara yang benar, sukar untuk memperoleh
penyadaran nibbana. Mimpi akan buyar, badai akan berlalu. Perjuangan hidup akan
usai. Proses alam akan berhenti. Semua kecemasan, kesengsaraan, gangguan,
beban, penyakit fisik dan mental, dan emosi akan berakhir setelah mencapai
keadaan kebahagiaan nibbana ini.
Tetapi
Nibbana itu harus dicapai dengan melaksanakan Delapan Ruas Jalan Utama.
JALAN
UNTUK MENCAPAI NIBBANA
1. Delapan
Ruas Jalan Utama/Jalan Tengah
Bodhisattva
pangeran Siddhartha Gotama, melalui pengalaman-pengalamannya sendiri telah
menemukan Jalan Tengah yang telah menghasilkan pandangan dan pengetahuan yang
membwa Beliau ke ketenangan, pengertian benar, kesadaran Agung dan Nibbana.
Pada hakekatnya seluruh ajaran YMS
Budha Gotama, yang disiarkannya sendiri untuk 45 tahun lamanya, dalam satu dan
lain cara ada hubungannya dengan Jalan ini. Beliau telah menerangkan dalam
berbagai cara, dengan memakai aneka perkatan kepada bermacam-macam orang,
sesuai dengan tingkatan pengetahuan masing-masing dan kesanggupan mereka untuk
mengerti dalam mengikuti beliau.
Sari dari ribuan sutta dalam kitab
suci agama Budha adalah mengenai Delapan Ruas Jalan Utama. Sangat diharapkan
sekali jangan sampai disalah tafsirkan, bahwa Ruas Jalan (Magganga) ini harus
dilaksanakan menurut nomor urutan dari susunan yang kesatu sampai kedelapan.
Tetapi sedikit banyaknya harus dipertimbangkan bersama-sama, tentu saja
tergantung dengan keadaan dan kesanggupan tiap-tiap orang. Karena ruas-ruas
jalan itu sebenarnya satu sama lain saling bergentungan dan salaing
bantu-membantu.
Maka Delapan Ruas Jalan Utama atau
Jalan Tengah itu lazim dibagi dalam tiga golongan yang lebih besar, yaitu:
a. Sila = tata hidup yang susila dan beradab.
b. Samadhi
= pembinaan disiplin mental.
c. Panna
= kebijaksanaan-kebijaksanaan luhur.
Demikianlah
satu-satunya jalan untuk mencapai Nibbana, yang demikian sederhana, tetapi
mempunyai nilai untuk memberikan kepuasan kepada emosi emosi keagamaan.
2. Yang lenyap di Nibbana
Orang
yang telah mencapai Nibbana dapat disebut “orang yang sempurna”, seperti YMS
Budha Gotama, orang yang telah sempurna membuang semua ikatan, semua ikatan
terhadap badan jasmaninya, perasaannya, penserapannya, bentuk-bentuk pikirannya
dan kesadarannya sampai ke akar-akarnya dan selanjutnya tidak dilahirkan
kembali kedalam kehidupan. Sekarang orang sempurna setelah wafat, telah bebas
dari ikatan badan jasmaninya, perasaannya, bentuk pikirannya dan kesadarannya.
Orang yang sempurna hanya dapat dilihat oleh orang yang telah melihat Dhamma,
dan siapa yang melihat orang sempurna, Ia melihat Dhama. Demikianlah orang yang
sempurna merupakan badannya Dhamma dan bersatu dengan Sanghyang Adi Buddha.
3. Orang
Yang Telah Mencapai Nibbana Bebas dari Lahir, derita, Umur Tua dan mati; lobha,
dan dosa moha.
Tiada
lagi penderitaan bagi mereka yang telah mencapai Nibbana, yang telah terbebas
dari penderitaan, yang telah membebaskan diri dari segala ikatan nafsu, yang
telah memutuskan semua ikatan. Orang yang sempurna, sikapnya toleran, seperti
tanah, seperti ambang pintu yang menjalankan tugasnya, yang bagaikan danau yang
idak berlumpur; manusia yang demikian tidak lagi terikat oleng lingkaran
tumimbal lahir dan kematian.
Pikirannya
tenang, tutur kata dan perbuatannya senantiasa dilakukan dengan tenang setelah
Ia mencapai kebebasan melalui pengetahuan sejati dan menjadi tenang serta
seimbang. Orang sempurna telah bebas dari ke tahyulan. Ia mengetahui yang tak
diciptakan. Yang telah memutuskan semua ikatan yang telah mengakhiri atau tak
membuat lagi kamma-kamma baru, yang baik maupun yang buruk, yang telah
mengenyahkan semua napsu keinginan. Dialah manusia yang paling luhur. Suci dari
segala manusia.
Dimana
saja bersemayam orang suci, tempat itu pasti sangat menyenangkan, baik di kota,
di kampung maupun di dalam hutan, dilaut maupun di darat. Cita-cita semua umat
Buddha, pertama-tama ialah untuk mencapai tingkat kesucian, untuk menjadi
manusia suci atau Arahat, atau menjadi Bodhisattva untuk mencapai tingkat
ke-Buddha-an dan Nibbana.
KESIMPULAN
Tilakhana
atau tiga corak umum ini adalah menjadi dasar ajaran agama Buddha:
1. ANICCA
(ketidak-kekalan).
2. DUKKHA
(derita jasmani-rohani).
3. ANATTA
(tidak ada inti yang kekal (tanpa aku) ).
Paticca
Samuppada atau pokok permulaan sebab akibat yang saling bergantungan.
Setiap kejadian selalu bergantungan pada
kejadian lain yang mendahuluinya; dan selalu menimbulkan kejadian lain yang
mengikutinya.
Ajaran
mengenai tumimbal-lahir sangat erat hubungannya dengan Hukum Karma. Ajaran
tumumbal-lahir dalam agama Buddha membuktikan adanya kehidupan makhluk yang
berulang-ulang.
Nibbana adalah kebahagiaan tertinggi,
suatu keadaan kebahagiaan abadi yang luar biasa. Kebahagiaan ini tidak dapat
dialami dengan memanjakan indera, tetapi dengan menenangkannya. Nibbana adalah
tujuan akhir ajaran agama Buddha.
DAFTAR
PUSTAKA
Dhammananda, Sri. “Keyakinan Umat
Buddha”. Pustaka Kanariya, 2007.
Kaharuddin, Pandit Jiratana. “Rampaian
Dhamma”. Cet I 2000, Cet II 2004.
MS.Sumantri, “Kebahagiaan Dalam Dhamma”.
1980.
[1]
M.u. Sumantri. MS. Kebahagiaan Dalam
Dhamma. Hal. 74-79
[2] Ibid.
hal. 88-89
[3]
Pandit Jinaratana Kaharuddin. Rampaian
Dhamma. Hal. 61-65
[4]
Pandit Jinaratana Kaharuddin. Rampaian
Dhamma. Hal. 45.
[5]
M.U. Sumantri. MS. Kebahagiaan Dalam
Dhamma. Hal. 72.
[6]
M.U. Sumantri. MS. Kebahagiaan Dalam
Dhamma. Hal. 134.
[7]
Sri dhammananda. Keyakinan Umat Buddha. Hal. 155.
0 komentar:
Posting Komentar