Rabu, 23 Mei 2012

MAKNA PUJA (DO’A), HARI SUCI, TEMPAT SUCI DAN AJARAN TENTANG SANGHA



PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Telah kita ketahui bersama bahwa setiap agama punya ciri khas sendiri untuk melakukan ritual keagamaanya yang intinya semuanya menuju kebahagian sejati. Seperti Halnya buddha ada ritual dan juga tempat yang dianggap sakral bahkan doapun menurut mereka sesuatu yang sangat bernilai tinggi karena doa dalam persepsi buddha , doa adalah meditasi dengan perubahan diri sebagai objeknya. Dan ini tidak akan tercapai jika tidak mengkondisikan tiga hal yaitu pikiran, perkataan, dan perbuatan.
Disisi lain buddha juga mempunyai tempat yang mereka anggap sangat sakral yaitu
1.      Tempat kelahiran Sang Buddha
2.      Tempat Sang Buddha mencapai penerangan
3.      Tempat Sang Buddha memutar roda Kesunyataan yang Tiada Bandingnya (Dhammacakka)
4.       Tempat Sang Buddha mencapai Parinibbana
Kemudian buddha juga mempunyai hari yang mereka juga menganggap sangat sakral atau yang disebut hari suci yaitu
  1. Hari Waisak
  2. Hari Asadha
  3. Hari Kathina
  4. Hari Magha Puja
Inilah sekilas sakralisasi yang buddha miliki namun rasa kita kurang puas jika tika kita ketahui secara mendalam. Di BAB ini dari kelompok 6 akan mempresetasikanya, insya Allah.
1.2.Tujuan
Tujuan penulis membuat makalah berjudul adalah  Makna Puja (do’a), Hari Suci, Tempat Suci dan Ajaran Tentang Sangha” :
Ø Memberikan pengetahuan kepada pembaca mengenai makna puja, hari suci, tempat suci dalam Agama Buddha dan Ajaran tentang Sangha
Ø  Sebagai pemenuhan terhadap tugas makalah mingguan yang dibutuhkan sebagai syarat untuk menyelesaikan matakuliah Budhaisme.
Ø  Memberikan wawasan yang lebih dalam Agama Buddha kepada kami dan Mahasiswa yang lainnya.

1.3 METODE
     Metode yang digunakan penulis dalam mengumpulkan data penulisan makalah ini adalah metode studi pustaka dari buku referensi yang terkait dan data dari internet.

1.4 SISTEMATIKA PENULISAN
     Peulisan makalah ini terdiri dari 3 bab. Bab pertama yaitu pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, tujuan, metode, dan sistematika penulisan. Sedangkan bab kedua yaitu pembahasan yang terdiri dari Makna Puja (do’a), Hari suci, Tempat Suci, dan Ajaran tentang Sangha. Bab terakhir yaitu bab penutup yang berisi kesimpulan dari isi makalah.





PEMBAHASAN

A.    Makna Puja (Do’a)
           
Alam tidak memihak; alam tidak dapat disanjung oleh doa; Alam tidak menghibahkan kemurahan khusus apapun atas permintaan; Manusia bukanlah makhluk yang jatuh melainkan malaikat yang bangkit. Doa terjawab oleh kekuatan pikiran mereka sendiri.[1]
            Ajaran budha memberikan tanggung jawab dan martabat penuh kepada manusia. Ajaran budha membuat manusia menjadi tuannya sendiri. Menurut ajaran buddha, tidak ada makhluk yang lebih tinggi yang duduk untuk menghakimi perbuatan dan nasib seseorang. Hal ini berati hidup kita, masyarakat kita, dunia kita, adalah apa yang kamu dan saya ingin perbuat dengannya, dan bukan apa yang diinginkan oleh makhluk antah berantah.
            Ingatlah bahwa alam itu tidak memihak; tidak dapat disanjung oleh doa-doa alam tidak menghibahkan kemurahan khusus apapun karena permohonan. Jadi dalam ajaran agama buddha, doa adalah meditasi dengan perubahan diri sebagai objeknya. Doa dalam meditasi akan mengkondisikan sifat seseorang. Hal itu merupakan perubahan sifat dalam diri seseorang yang dicapai dengan pemurnian tiga daya pikiran, perkataan, dan perbuatan. Melalui meditasi kita dapat memahami bahwa ‘kita adalah apa yang kita pikirkan’, sesuai dengan penemuan psikologi. Jika kita berdoa, kita mengalami suatu kelegaan dalam pikiran kita; itulah efek psikologis yang kita ciptakan melalui iman dan devosi kita. Setalah melafalkan ayat tertentu kita juga mengalami hasil yang sama. Nama atau simbol religius tertentu adalah penting sejauh mereka menolong mengembangkan devosi dan keyakianan diri. Namun harus tetap tidak dianggap sebagai akhir segalanya.[2]
            Sang buddha sendiri telah menyatakan dengan jelas bahwa bukanlah pengucapan ayat-ayat suci, atau penyiksaan diri, atau tidur di atas tanah, atau pengulangan doa-doa, penebusan dosa, kidung, jimat, mantra, jampi, atau rapalan yang dapat membawa kebahagiaan sejati nibbana, namun hanya pemurnian pemikiran melaluli upaya sendirI yang dapat melakukannya.
            Mengenai doa-doa utnuk mencapai tujuan akhir, sang buddha pernah membuat analogi tentang seorang manusia yang ingin menyebrang sungai. Jika ia duduk dan berdoa, memohon agar tepian seberang datang kepadanya dan membawanya ke seberang, maka doanya tidak akan terjawab. Jika ia benar-benar ingin menyeberang sungai itu, ia harus berusaha; ia harus mencari balok kayu dan membikin rakit, atau mencari jembatan, atau membuat perahu, atau barangkali berenang. Dengan suatu cara ia harus bekerja untuk menyebrang sungai. Demikian juga, jika ia ingin menyebrangi sungai Samsara, doa-doa saja tidaklah cukup. Ia harus bekerja keras dengan  menjalankan kehidupan religius, mengendalikan nafsunya, menenangkan pikirannya, dan dengan menyingkirkan semua ketidakmurnian dan kekotoran dalam pikirannya. Hanya dengan demikian ia dapat mencapai tujuan akhir. Doa saja tidak akan pernah membawtanya tujuan akhir.
            Jika diperlukan, hal itu sebaiknya digunakanutnk memperkuat dan memusatkan pikiran dan bukan untuk memohon sesuatu. Doa berikut dari seorang penyair mengajarkan kita bagaimna caranya berdoa. Umat buddha akan menganggap hal ini sebagai meditasi untuk mengembangkan pikiran:

Semoga aku tak bedoa dijauhkan dari marabahaya,
Tapi berdoa agar tak takut menghadapinya.
Semoga aku tak bedoa untuk diredakan dari rasa sakit,
Tapi demi hati yang menaklukanya.
Semoga aku tak rindu diselamatkan dari rasa takut,
Tapi bisa mengandalkan kesabaran
Untuk menenangkan kebebasanku[3]

            Banyak orang bersembahyang di depan arca Buddha untuk minta perlindungan, diberi rezeki, diberi hok-khie, diberi usaha berjalan lancar, diberi anak, diberi kesehatan, diberi jodoh, diberi rumah tangga yang rukun, sampai-sampai memohon untuk diberi panjang umur, bahkan juga untuk anak, cucu, serta masyarakat sekitarnya. Melihat fenomena demikian, muncul pertanyaan-pertanyaan yang perlu dicermati untuk dijawab. Apakah permohonan demikian dapat dikabulkan  sesuai dengan permohonan mereka? Kalau bisa, begitu sederhanakah nasib seseorang sehingga bisa dirubah dalam waktu yang begitu singkat dan begitu saja?
            Fenomena dan pertanyaan seperti yang digambarkan demikian, pasti pernah terlintas dalam pikiran semua orang dan jadi penasaran, apa benar dan mengapa begitu? Untuk menjawabnya, mari kita kaji kembali untuk memahami makna dari semua tindakan yang telah dilakukan tersebut.

B.     Hari Suci

            [4]Dalam upacara-upacara yang dilakukan umat Buddha terkandung dalam beberapa prinsip penting yaitu:
1.      Menghormati dan merenungkan sifat-sifat luhur Sang Triratna;
2.      Memperkuat keyakinan;
3.      Membina keadaan batin yang luhur;
4.      Mengulang dan merenungkan kembali Sang Buddha;
5.      Melakukan anumodhana, yaitu membagi perbuatan baik kepada orang lain.
Upaca tersebut dilakukan secara harian, mingguan, setiap hari upashota, yaitu setiap tanggal 1 dan 15berdasarkan penanggalan bulan, dan pada hari-hari raya agama Buddha.
Hari-hari raya Buddha tersebut adalah hari Waisak, Asadha, Kathina dan Magha Puja. Hari Waisak biasanya jatuh pada bulan pernama Sidhi, Mei-Juni, yang merupakan peringatan 3 peristiwa. Yaitu, hari kelahiran Pangeran Siddharta (nama sebelum menjadi Buddha), hari pencapaian Penerangan Sempurna Pertapa Gautama, dan hari Sang Buddha wafat atau mencapai Nibbana/Nirwana. Hari Waisak juga dikenal dengan nama Visakah Puja atau Buddha Purnima di India, Vesak di Malaysia dan Singapura, Visakha Bucha di Thailand, dan Vesak di Sri Lanka. Nama ini diambil dari bahasa Pali “Wesakha”, yang pada gilirannya juga terkait dengan “Waishakha” dari bahasa Sanskerta.[5] Hari raya Asadha biasanya jatuh pada bulan purnama Sidhi bulan Juli-Agustus, dua bulan setelah Waisak. Hari Asadha di peringati karena hari itu adalah hari ketika Sang Buddha mengajarkan dharma yang pertama kali kepada kelima Pertapa, yang di kenal dengan “pemutaran roda dharma”. Hari raya Kathina dirayakan tiga bulan setelah hari Asadha, sebagai ungkapan perasaan terima kasih kepada para bhikkhu yang telah menjalankan vassa, berdiam di satu tempat tertentu, di daerah mereka. Hari raya Magha Puja biasanya jatuh pada bulan purnama bulan Februari-Maret untuk memperingati dua kejadian penting, yaitu berkumpulnya 1250 orang arahat di Wihara Veluvana di kota Rajagraha untuk memberi hormat pada Sang Buddha, setelah mereka kembali dari tugas menyebarkan dharma. Peristiwa penting kedua terjadi pada tahunterakhir dari kehidupan Sang Buddha sewaktu berdiam di Cetiya Pavala, di kota Vesali, setelah memberikankhotbah Iddhipada-dharma kepada para siswanya dan membuat keputusan untuk meninggal dunia tiga bulan kemudian.[6]

C.    Tempat Suci

Dalam tradisi agama Buddha, tempat-tempat suci dalam Buddha adalah sesuatu yang sangat disakralkan (keramat atau disucikan) oleh para perkumpulan, para penganut agama Buddha dan para orang sucinya. Berdasarkan sejarah, duplikat tempat ibadah umat Buddha adalah Stupa, atau gundukan pekuburan yang di dalamnya ada peninggalan dari sisa-sisa tulang-tulang Buddha yang dikremasikan. Stupa berfungsi sebagai sesuatu penting untuk tempat-tempat pemujaan, tapi melintas jauh ke dunia Buddha sebagaimana tempat ibadah yang digunakan untuk pemujaan, terutama Buddha atau bodhisattva-bodhisattva atau bodhisatwa.[7]
Sang Buddha lalu berbicara tentang empat tempat yang di sucikan karena berhubungan dengan Beliau, yang seharusnya dikunjungi oleh para pengikut yang setia dengan penuh penghormatan dan perasaan kagum. Empat tempat suci tersebut adalah:
5.      Tempat kelahiran Sang Buddha
6.      Tempat Sang Buddha mencapai penerangan
7.      Tempat Sang Buddha memutar roda Kesunyataan yang Tiada Bandingnya (Dhammacakka)
8.      Tempat Sang Buddha mencapai Parinibbana[8]

            Bukan saja tempat dimana Buddha mencapai kebangkitannya, bahkan alam sendiri di anggap sakral bagi umat Buddha. Seperti replika dari singgasana Buddha yang dianggap sesuatu sangat sakral. Roger. M. Keesing (1976:1566) mengatakan bahwa sakral atau sakralisasi adalah proses menjadi keramat atau transisi dari dunia sekular dunia biasa menuju kedunia kramat sedangkan kramat adalah berhubungan dengan kekuatan-kekuatan tertinggi atau yang melebihi kekuatan manusia, yang terdapat dialam semesta, memiliki arti atau suasana keagamaan yang khas.
            Bentuk dasar dari tempat keramat Buddha mereplikasikan salah satu stupa-stupa ini, dengan gundukan pusat yang besar dikelilingi susunan tangga dan puncaknya dengan struktur empat persegi dan ditengah-tengahnya ada payung. Pada stupa yang paling pertama barang-barang peninggalan Buddha ini disimpan pada struktur persegi, tapi kemudian diabadikan di dalam gundukan pusat. Sebagaimana stupa-stupa yang berkembang di India, gundukan tersebut di dekorasi dengan represetasi dari Buddha, dan peristiwa dari kehidupannya, atau riwayat-riwayat penting dari naskah para Buddha. Untuk memberi penghormatan pada Buddha, pada salah satu tempat keramat tradisional ini, seorang penyembah dianjurkan memberi pujian (do’a).
            Hampir setiap negara mempunyai stupa-stupa yang menjadi kebesaran umat Buddha. Stupa dasar dikembangkan dengan banyak cara wilayah-wilayah yang berbeda-beda. Di Tibet, sruktur stupa agama Buddha tersebut memanjang kedalam kearah chorten atau ‘tempat sesembahan’. Di China, Korea, dan Jepang, bentuk stupa itu menjulang tinggi seperti pagoda diperoleh dari payung-payung yang anggun yang digunakan untuk menghiasi puncak stupa di India. Setiap daerah atau negara tampaknya bentuk stupa berbeda-beda, namun fungsinya tetap sama.
            Para penganut Buddha India menetapkan suatu tradisi pembangunan kuil yang mengikuti agama Hindu. Kuil yang paling awal di bangun adalah Gua, yaitu di India Barat. Kadang-kadang patung Buddha yang tedapat di ruang yang terpisah serupa dengan garbha-garbha atau “rumah peranakan” atau ‘Womh House” yang ada di kuil Hindu.
            Tempat yang suci yang di bangun oleh para penganut Buddha biasanya memiliki seni arsitektir yang luar biasa, lihat saja contohnya candi Borobudur di Jawa Tengah. Contoh lain, puncak lengkungan kubah stupa yang berdiri di Mount Meru, gunung kosmik Buddha yang menandai pusat India, dan payung-payung yang muncul diatas stupa melambangkan tingkat surga berbeda pada tradisi India kuno. Diatas payung-payung, ada ruang kosong dari langit-langit, terletak bidang tak berbentukyang didapatkan oleh ‘orang suci Buddha di level meditasi tertinggi dan ‘Buddha field’ merupakan tempat kediaman Buddhas dan bodhisattva-bodhisattva yang berasal dari tradisi Mahayana.
            Di dalam tradisi penganut Buddha, barang peninggalan dan patung fisik Buddha yang di puja-puja di tempat suci merupakan bentuk badannya Buddha atau melambangkan badannya Buddha. Ajarannya di kenal dengan ‘Dharma body’, yang juga merupakan objek pemujaan banyak orang. Beberapa dari pengikut Mahayana sutra mengatakan bahwa beberapa tempat dimana Dharma yang dijelaskan seharusnya diberlakukan sebagai ‘tempat suci Buddha dan naskah-naskah India klasik juga menggambarkan tempat suci Buddha’.
            Di banyak tempat, banyak cara yang dilakukan orang untuk menyembah Buddha, kebanyakan di Adam Peak di Sri Lanka. Menurut Tradisi Theravada, Buddha menggunakan kekuatan superanaturalnya untuk terbang ke Sri Lanka, dan meninggalkan jejak kakinya sebagai tanda kunjunganya. Jejak kaki Buddha ini menjadi pusat pemujaan banyak orang yang percaya kepada Buddha.
            Para penganut Buddha tidak hanya mengkramatkan tempat-tempat suci yang nyata ada, tetapi juga tempat-tempat yang tidak nyata atau tyersembunyi. Apocalyptic Kalackhra Tantra (roda Waktu), salah satu naskah Tantrik yang terakhir di India, menceritakan sejarah kerajaan mistis (tersembunyi) yang bernama Shambhala, yang terletak tersembunyi di salah satu gunung di utara India dan diatur oleh raja Buddha yang budiman.Naskah tersebut meramalkan suatuwaktu dimana kekuatan jahat telah menaklukan dunia. Shambhala kemudian akan menampakkan diri dan raja yang budiman akan muncul dari benteng-benteng yang tinggi dan kokoh, di kepung oleh pasukannya, untuk mengalahkan kekuatan jahat dan membangun kembali ajaran Dharma yang di bawa oleh Shiddharta Gautama atau Buddha.

D.    Ajara Tentang Sangha

Dalam naskah-naskah Buddhis dijelaskan bahwa sangha adalah pasamuan dari makhluk-makhluk suci atau ariya-puggala. Mereka adalah makhluk-makhluk suci yang telah mencapai buah kehidupan beragama yang ditandai oleh kesatuan dari pandangan yang bersih dan sila yang sempurna. Tingkatan kesucian yang telah mereka capai terdiri dari sottapati, sakadagami, anagami dan arahat.
            Tingkat sottapati adalah tingkat kesucian pertama, dimana mereka masih menjelma tujuh kali lagi sebelum mencapai nirwana. Pada tingkatan ini seorang satopatti masih harus mematahkan belenggu kemayaan aku (sakkayaditthi), keragu-raguan (vicikiccha), dan ketakhayulan (silabataparamasa) sebelum dapat meningkat ke sakadagami. Pada tingkat sakadagami, ia harus menjelma sekali lagi sebelum mencapai nirwana. Ia harus dapat mebangkitkan kundalini sebelum naik ke tingkat anagami.setelah mencapai anagami, ia tidak harus menjelma lagi untuk mencapai nirwana namun harus mematahkan beberapa belenggu yaitu kecintaan yang indrawi (kamaraga), dan kemarahan atau kebencian (patigha) sebelum mencapai tingkat terakhir, yaitu arahat. Setelah mematahkan belenggu kamarag dan patigha, ia kemudian naik ketingkat arahat dan dapat langsung mencapai nirwana di dunia maupun sesudah meninggalnya.
            Selain ke empat tingkat kesucian di atas, dalam kepercayaan Buddha juga di kenal adanya asheka, yaitu orang yang sempurna (sabbanu) yang tidak perlu belajar lagi di bumi ini. Diantara para asheka tersebut adalah Siddharta Gautama yang telah mencapai tingkat kebuddhaan tanpa harus belajar dan berguru kepada orang lain.
Dalam sejarah Buddha, sangha di bentuk sendirioleh Sang Buddha beberapa minggu setelah ia mencapai pencerahan. Anggotanya yang pertama adalah Kondana, Badiya, Wappa, Mahanama dan Asaji, yaitu murid-murid Sang Buddha yang pertama kali. Diantara mereka Kondana adalah muridpertama yang mencapai tingkat arahat.
            Sangha adalah inti masyarakat Buddha yang dapat menciptakan suasana yang diperlukan untuk mencapai tujuan hidup tertinggi, yaitu nirwana. Dari umat Buddha sangha patut menerima pemberian (ahu-neyyo), tempat berteduh (pahuneyyo), persembahan (dakkhineyyo), penghormatan (anjalikarananiyo), dan merupakan lapangan untuk menanam jasa yang tidak ada taranya di dunia (anuttaram pannakhettam lokassa).
            Menurut kepercayaan umat Buddha, sangha tidak dapat dipisahkan dan dharma dan Buddha, karena kegiatannya adalah Triratna yang membentuk kesatuan tunggal dan merupakan manifestasi berasas tiga dari Yang Mutlak di dunia.
Kata Tiratana terdiri dari kata Ti, yang artinya tiga dan Ratana, yang artinya permata / mustika; yang maknanya sangat berharga. Jadi, arti Tiratana secara keseluruhan adalah Tiga Permata (Tiga Mustika) yang nilainya tidak bisa diukur; karena merupakan sesuatu yang agung, luhur, mulia, yang perlu sekali dimengerti (dipahami) dan diyakini oleh umat Buddha.
            Hubungan antara ketiganya sering digambarkan sebagai berikut : “Buddha sebagai bulan pernama, dharma sebagai sinarnya yang menyinari dunia, dan sagha sebagai dunia yang berbahagia menerima sinar tersebut.”
            Sebagai suatu bentuk masyarakat keagamaan, sangha terbuka bagi setiap umat Buddha untuk memasuki dan bergabung di dalamnya, dengan melalui tahap-tahap tertentu. Tahap pertama di mulai ketika umat Buddha menerima jubah kuning dan memasuki persaudaraan para bhikkhu atau bhikkhuni. Sebelum secara penuh di terima sebagai seorang bhikkhu atau bhikkhuni, ia di haruskan untuk menjalani hidup sebagai calon bhikkhu atau samanera dengan mengucapkan dan menepati “dasa sila atau sepuluh janji”, tekun mempelajari dharma, menggunakan waktu luangnya untuk perenungan suci di bawah asuhan seseorang bhikkhu atau guru (acarya) yang dipilhnya sendiri.setelah ia dapat melakukan semua itu, maka ia di terima secara penuh sebagai bhikkhu dalam suatu upacar penahbisan (upasanampada) yang dihadiri oleh para sesepuh (thera-thera).
            Setelah menjadi bhikkhu ia harus menjalani hidup bersih dan suci seperti yang tertulis dalam Vinaya Pitaka, menjalani 227 peraturan yang garis besarnya adalah:
1.      Peraturan yang berhubungan dengan tata tertib lahiriah;
2.      Peraturan yang berhubungan dengan cara penggunaan makanan dan pakaian serta lain-lain kebutuhan hidup;
3.      Cara menanggulangi nafsu keinginan dan rangsangan batin;
4.      Cara untuk memperoleh pengetahuan batin yang luhur untuk penyempurnaan diri.[9]
Dalam masa lima tahun pertama kehidupannya sebagai bhikkhu, ia masih berada dalam ikatan keguruan, dan setelah lebih kurang 10 tahun ia disebut thera.
Masyarakat awam umat Buddha terdiri atas upasaka dan upasaki yang telah mengakui Sang Buddha sebagai pemimpin dan guru, mengakui dan meyakini kebenaran ajaranyya, serta berusaha dengan sungguh-sungguh menjalankan. Pengakuan tersebut dinyatakan dalam niat dan tekad untuk berlingung kepada Buddha untuk berlindung kepada Buddha , dharma dan sangha dengan mengucapkan trisarana, yaitu: “Buddhang saranang gacchami, saya berilndung kepada Buddha. Dhamang saranang gacchami, saya berlindung kepada dharma. Sanghang saranang gacchami, saya berindung kepada sangha”. Setelah mengucapkan Trisarana tersebut, seorang upasaka atau upasaki terikat secara rohaniah untuk melaksanakan dan mengamalkan ajaran Sang Buddha dalam kehidupannya sehari-hari.




























Kesimpulan
Dalam naskah-naskah Buddhis dijelaskan bahwa sangha adalah pasamuan dari makhluk-makhluk suci atau ariya-puggala. Mereka adalah makhluk-makhluk suci yang telah mencapai buah kehidupan beragama yang ditandai oleh kesatuan dari pandangan yang bersih dan sila yang sempurna. Tingkatan kesucian yang telah mereka capai terdiri dari sottapati, sakadagami, anagami dan arahat.
Dalam tradisi agama Buddha, tempat-tempat suci dalam Buddha adalah sesuatu yang sangat disakralkan (keramat atau disucikan) oleh para perkumpulan, para penganut agama Buddha dan para orang sucinya. Berdasarkan sejarah, duplikat tempat ibadah umat Buddha adalah Stupa, atau gundukan pekuburan yang di dalamnya ada peninggalan dari sisa-sisa tulang-tulang Buddha yang dikremasikan. Stupa berfungsi sebagai sesuatu penting untuk tempat-tempat pemujaan, tapi melintas jauh ke dunia Buddha sebagaimana tempat ibadah yang digunakan untuk pemujaan, terutama Buddha atau bodhisattva-bodhisattva atau bodhisatwa.[10]
Hari-hari raya Buddha tersebut adalah hari Waisak, Asadha, Kathina dan Magha Puja.







beberapa video penunjang...
(waisak) http://youtu.be/2vrJlAT7oek








Daftar Pustaka
v  Ali, M. (1988). Agama-Agama Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga.
v  Dhammananda, S. (2005). Keyakinan Umat Buddha. Karaniya.
v  Mahathera, N. (1990). Sang Buddha dan Ajaran-AjaraNya. Jakarta: Upi Visakha Gunadharma.
v  Tanggok, M. I. (2009). Agama Buddha. Jakarta: Lembaga Peneliti UIN Jakarta.
v  Kaharuddin, P. J. (2005). Kamus Umus Buddha Dharma. Jakarta: Tri Sattva Buddhist Centre.



[1] Sri Dhammananda, Keyakinan Umat Buddha, (Karaniya, 2005), hal. 292
[2] Ibid 293
[3] Ibid 295
[4] H. A. Mukti Ali, “Agama-Agama Dunia”, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), hal 132
[5]
[6] H. A. Mukti Ali, “Agama-Agama Dunia”, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), hal 133
[7] M Ikhsan Tanggok, “Agama Buddha”,(Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta,  2009), hal 76
[8] Narada Mahathera, “ Sang Buddha da Ajaran-Ajarannya”, (Jakarta: Uvi Visakha Gunadharma, 1990), hal 181
[9] H. A. Mukti Ali, “Agama-Agama Dunia”, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), hal 131
[10] M Ikhsan Tanggok, “Agama Buddha”, Lembaga Penelitian UIN Jakarta, Jakarta: 2009, hal 76

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More